Pengkajian tentang penggunaan bahasa tidaklah cukup dilihat dari dalam bahasa itu sendiri tetapi harus dikaji juga dari luar ilmu linguistik. Dengan kata lain pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik saja tapi juga ditentukan oleh faktor-faktor sosial (Suwito:1985:3). Faktor-faktor situasional juga berpengaruh, yaitu siapa yang berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dimana. Seperti yang dikemukakan oleh Fishman (1972:15) yaitu who speaks, what language, to whom and when.
Namun demikian pemakaian sebuah bahasa tertentu sebagai contoh adalah penggunaan bahasa Jawa dalam praktik kesehariaannya kadangkala belum sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian bahasa yang benar. Sebagai contohnya ialah pengalaman nyata ketika ibunda saya berjumpa dengan mantan siswanya saat Lebaran beberapa tahun yang lalu. Perlu diketahui bahwa ibunda saya adalah seorang guru senior di sebuah SMP Negeri di Kota Jepara. Tiap Lebaran ada saja para siswa dan alumni yang datang untuk silaturahmi. Salah satu peristiwa menarik adalah datangnya salah seorang mantan siswa yang sekarang sudah dewasa, berkeluarga dan jadi pengusaha kaya. Mungkin saja maunya mantan siswa ini bernoltasgia, bercerita tentang kesuksesan-kesuksesan yang dicapai selama ini dan juga berterimakasih atas jasa gurunya di masa lampau. Namun alangkah tragisnya ketika dia bercerita pada ibunda saya dari awal sampai akhir dengan memakai bahasa Jawa tingkat tutur Ngoko. Misalnya ia berkata,” Piye,Bu kabare? Sehat yo? Piye kabare guru-guru liyane? Podo Sehat kabeh yo?”. Hal ini tentu saja membut ibu saya sama sekali tidak respek dan tidak enak hati. Sampai-sampai ibu saya berkata, ”Kamu ini gimana tho,Le? Karo wongtuwa koq ora iso boso? Jan kebangetan kowe iki…Opa ora diajari wongtuwamu??..”
Kisah nyata di atas merupakan satu gambaran nyata tentang betapa tingkat tutur krama telah mulai luntur pada generasi muda kita. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Jepara yang notabene daerah pantai utara yang jauh dari kraton bahkan menurut penelitian Dr.Maryono Dwiraharjo dari Fakultas Sastra UNS di Solo dan sekitarnya penggunaan tingkat tutur krama di kalangan generasi muda telah mulai luntur dan terabaikan. Hal ini termasuk fenomena yang memprihatinkan karena Solo adalah salah satu dari dua episentrum budaya dan bahasa Jawa.
Fenomena semacam ini layak untuk dijadikan bahan kontemplasi: Kenapa bisa terjadi demikian? Siapa yang salah? Bagaimana solusinya?. Saya pribadi berpendapat tidaklah tepat kita berprinsip ala pepatah buruk muka cermin dibelah. Mari koreksi diri ; Jangan mudah menyalahkan orang lain. Perlu ada koreksi kedalam terutama pada peran para orangtua di rumah dan pendidik di sekolah di Solo dan sekitarnya. Yang perlu dicermati adalah seberapa penguasaan tingkat tutur krama ini telah diajarkan dan disosialisasikan kepada anak didiknya di tingkat keluarga dan sekolah.
Meski ada juga yang tidak atau mungkin kurang sependapat—terutama orang-orang yang perpandangan liberal dan egalitarian, saya tetap meyakini bahwa apabila tingkat tutur krama ini diajarkan sejak dini pada anak didik maka unggah-ungguh atau kesopanan yang merupakan bagian dari budi perkerti mulia akan bisa diinternalisir secara mendalam di hati sanubari anak didik kita. Setidaknya generasi muda keturunan orang Jawa mau berpikir dua kali atau tiga kali jika mau matur kepada orang yang lebih dewasa.
Salah satu solusi yang bisa dibuat adalah perlunya membangkitkan kesadaran para orangtua dan pendidik untuk membiasakan kepada anak didiknya dengan menggunakan tingkat tutur krama saat berada di rumah atau sekolah. Cara yang efektif adalah menyelipkan kalimat-kalimat krama kalau perlu Krama Inggil dalam berdialog, saat mengajar atau berbicara kepada anak asuhnya. Salah satu contoh menarik adalah kalimat-kalimat seorang guru kepada siswanya yang diungkapkan oleh Soepomo Poedjasoedarmo dalam bukunya berjudul “Tingkat Tutur Bahasa Jawa” berikut ini.
Guru: “Bocah-bocah, sak iki Ibu Guru kagungan cangkriman. Cangkrimane gampang banget. Sego sekepel dirubung tinggi iku apa? Hayo sapa kang ngerti? Sinten ingkang priksa? Anton, sampun priksa?”
“Anak-anak, sekarang Ibu Guru mempunyai teka-teki. Teka-teki ini mudah sekali. Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk itu apa?Ayo siapa tahu? Siapa yang tahu? Anton, tahu?” (1979:54).
Sekilas mungkin terasa aneh sekali jika kita mendengar Ibu guru berkata kepada murid-muridnya “Sinten ingkang priksa” kemudian bertanya kepada si Anton “Anton, sampun priksa”. Kenapa Ibu guru itu harus meninggikan kedudukan muridnya dengan menggunakan kalimat Krama? Bukankah hal ini terbalik; seharusnya siswa yang menggunakan tingkat tutur krama pada gurunya ?. Hal ini jika kita amati dalam kehidupan masyarakat Jawa secara umum bukanlah kejadian yang aneh. Para ibu di rumah dan guru di tingkat taman kanak-kanak dan kelas terendah di Sekolah Dasar sering menyelipkan kalimat-kalimat Krama dalam berbicara keapda anak asuh mereka sebagai salah satu cara yang efektif untuk mendidik anak asuh mereka. Dengan kalimat-kalimat Krama yang secara langsung ditujukan kepada anak asuh atau anak didik diharapkan bahwa si anak akan menjawab dengan tingkat tutur Krama pula. Jika seorang anak tidak pernah dibiasakan berkomunikasi dengan tingkat tutur yang halus dan sopan saya kira sampai kapanpun dia tidak akan bisa menggunakan tingkat tutur krama dengan baik dan benar. Kenapa demikian?. Seorang anak kecil akan menjawab dalam tingkat tutur Ngoko bila orang yang lebih dewasa bertanya kepadanya dalam Ngoko. Oleh karena itu mari kita sosialisasikan tingkat tutur krama ini dimulai dari kita sendiri selaku orangtua atau pendidik membiasakan tingkat tutur krama kepada anak-anak kita. Bagaimana sikap Anda?. Mau?.
BIBLIOGRAFI:
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik; Sajian Tujuan, Pendekatan, dan Problem-problemnya. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional.
Fishman, Joshua. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts. New House-Ramley Publishers.
Poedjosudarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suwito, 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori & Problem. Surakarta. Henary Press.
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..