Memang hal ini merupakan fenomena yang aneh tapi nyata :Jumlah sarjana yang menganggur di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 2006 (Januari-Februari), jumlah sarjana yang menganggur menurut data BPS ada 385.400 orang. Empat tahun kemudian jumlahnya sudah melonjak dua kali lipat menjadi 626.600 orang sarjana dari berbagai jurusan dan bidangnya. Angka pengangguran terdidik bertambah besar lagi jika digabungkan dengan pengangguran lulusan diploma yang mencapai 486.400 orang. Para pengangguran terdidik itu merupakan bagian dari pengangguran terbuka secara nasional yang pada Februari 2010 mencapai 9,26 juta atau setara dengan 8,14% dari total angkatan kerja.
Pertambahan jumlah pengangguran intelektual mesti dicermati benar-benar. Sebab setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 orang sarjana dari 2.900 perguruan tinggi yang ada. Semakin besarnya angka pengangguran terdidik tentu saja berdampak buruk, yakni terjadinya pemborosan dalam skala besar. Bukankah negara kita sudah mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan?. Alokasi anggaran yang begitu besar yang kemudian memproduksi pengangguran intelektual, jelas merupakan pemborosan. Dampak buruk lainnya yang lumayan serius adalah adanya kekhawatiran akan hilangnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan tinggi.
SEBAB DAN SOLUSI FENOMENA PENGANGGURAN INTELEKTUAL
Jika dipikir lebih dalam ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya fenomena diatas:
Pertama : Mindset yang salah. Tiga setengah abad lamanya terjajah oleh Belanda telah mempengaruhi pola pikir dan karakter bangsa ini. Belanda telah banyak memberi warisan bagi bangsa ini. Jika warisan itu sesuatu yang positif seperti rasa tanggungjawab, fokus dan disiplin yang tinggi hal ini tidak apa-apa bahkan perlu dimaksimalkan. Sayangnya, ada satu warisan yang sekarang tidak lagi relevan tapi masih saja digunakan. Salah satunya ialah mindset bahwa bersekolah dan menuntut ilmu bertujuan akhir agar menjadi pegawai pemerintah. Di zaman dulu, Belanda memberikan pendidikan kepada pribumi agar bisa dijadikan tenaga terampil dan berkualitas tapi murah. Digaji sedikit pun mau dan ada kebanggaan berlebih sebagai “Amtenaar” atau pegawai negeri . Jika sudah jadi Amtenaar-nya kompeni, si pribumi merasa bangga , pribumi lain dianggap lebih rendah darinya. Itulah mengapa banyak kaum intelektual yang gengsi untuk memulai dari bawah. Mereka lebih bangga menjadi karyawan kantoran dengan gaji dua sampai tiga juta perbulan dibanding jadi tukang nasi goreng dengan laba empat ratus ribu perhari. Selain itu, mereka juga merasa tidak bisa berkontribusi tanpa jabatan. Padahal sesungguhnya, banyak kontributor besar di bangsa ini yang tak punya jabatan struktural. Karena jabatan itu sementara, tapi kontribusi dan kapasitas bersifat kekal- dikenang sepanjang masa.
Dari pembahasan di atas sudah jelas bahwa akar masalahnya sebenarnya terletak pada pola pikir kita. Pola pikir yang diwariskan oleh nenek moyang yang kini tak lagi relevan dengan tantangan zaman. Pola pikir yang telah mengkungkung kita dalam ketertinggalan. Pola pikir yang membuat kemajuan itu tak kunjung datang, meski bangsa ini punya jutaan intelektual. Perlu dilihat lagi sejarah peradaban bangsa-bangsa yang besar yang bisa besar karena akumulasi dari perubahan-perubahan kecil yang saling menguatkan. Kemudian juga tidak ada perubahan dalam skala makro, sebelum kita memulainya dari skala pribadi. Mari kita perubahan itu mulai dari diri kita dan sekarang juga!
Kedua: Hanya Mengejar Prestasi Belajar. Mari kita bayangkan apa yang akan terjadi jika mahasiswa S1 hanya mengejar tingginya Indeks Prestasi dan jika seorang doktor menjadikan disertasinya sebagai karya terakhirnya. Jika seperti ini capaian yang dikejar maka akan segera berbunyi “Lonceng kematian” tradisi belajar. Sebuah tradisi yang sebenarnya perlu dipupuk dan dilestarikan yang membuat para sarjana, master, dan doktor terus membaca, menulis, meneliti, dan berdiskusi meski tak lagi mengejar ijazah dan dipaksa mengerjakan tugas kuliah. Jika calon sarjana hanya mengasah kemampuan kognitif dan lupa menyiapkan keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan Enterpreneurship (kewirausahaan) menjadikan lulusan kampus tidak siap terjun di dunia kerja dan masyakarakat luas. Perlu diketahui bahwa di negeri kita, jumlah entrepreneur sangatlah minim. Pada 2007, baru tercatat 0,18% atau 400.000 dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta. Sebagai pembanding, jumlah Entrepreneur di Amerika Serikat mencapai 2,14% pada 1983. Bahkan di Singapura, berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Moneter (2005), pada 2001 mencapai jumlah Entrepreneur 2,1% dan menjadi 7,2 % pada 2005.
Dari data di atas ada beberapa pertanyaan yang muncul dan perlu direnungkan : Seberapa jauh penganggur intelektual dapat ikut menjawab tantangan pasar kerja? Dengan kata lain seberapa besar para penganggur dengan kemampuan intelektualnya dapat menciptakan lapangan kerjanya untuk dirinya sendiri? Dan bagaimana pula sumbangan mereka yang sudah bekerja dalam membangun kesejahteraan masyarakat? Diambil contoh, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971. Dalam kaitan itu bisa diduga makin rendah mutu lulusan ditambah kurangnya semanga juang untuk menciptakan lapangan kerja sendiri maka semakin bergantunglah sang lulusan pada orang atau pihak lain. Apalagi kalau mutu lulusan adalah pas-pasan dilihat dari kecerdasan intelektual dan soft-skills-nya. Bisa diduga pula alih-alih para lulusan menyumbang bagi kesejahteraan masyarakat tetapi malah menambah beban masyarakat dan negara.
Ketiga: Sistem pendidikan yang tidak meng-kreatif-kan. Selama ini ada kecenderungan dunia sekolah dan kampus di negeri kita kurang men-sistematisasi-kan penyiapan calon sarjana yang punya beragam soft-kills dan karakter yang sangat diperlukan di dunia kerja. Kreativitas, Enterpreneurship, determinasi atau keuletan, kemandirian dan berani mengambil keputusan adalah gambaran umum karakater yang perlu di-install secara permanen dalam sistem dunia pendidikan kita. Meskipun hanya sekadar cerita fiksi film “3 Idiots (2010)” bisa dijadikan sumber inspirasi. Dalam film Bollywood itu digambarkan bagaimana tiga mahasiswa bernama Rancho, Farhan dan Raju yang sering dikatakan idiot oleh dosennya tapi akhirnya bisa menjadi orang sukses di bidang masing-masing. Di akhir cerita, kita melihat tiga orang ‘Idiot’ ini menjadi orang sukses karena mengikuti kata hati mereka dan memahami bahwa pendidikan tidak sekedar nilai dan gelar. Ranco menjadi seorang peneliti kelas dunia yang telah menghasilkan 400 paten , Farhan menjadi seorang fotografer alam yang buku dan karya fotonya tersebar di seluruh dunia, sedangkan Raju sukses bekerja di perusahaan sekaligus menjadi seorang penulis handal.
Sumber inspirasi lain buat para pendidik adalah kisah nyata yang ditulis oleh Tetsuko “Totto-Chan” Kuroyanagi yang ketika masih SD oleh gurunya dianggap nakal padahal dia adalah pribadi yang punya rasa ingin tahu yang besar dan kreatif. Karena kebiasaannya gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung membuat guru tidak tahan , sehingga dia akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Selanjutnya dia didaftarkan di sekolah yang baru yang dinamai Tomoe Gakuen. Di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Mereka bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Sungguh mengasyikkan . Di sekolah yang dikepalai oleh Sasuko Kobayashi itu para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu. Karena sekolah itu begitu unik, Tetsuko kecil pun merasa kerasan. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.
Membaca tuntas kisah nyata tersebut membuat kita merasa salut kepada Sasuko Kobayashi [1893 - 1963], sang Kepala Sekolah yang berhasil menciptakan dan menerapkan cara pendidikan yang bisa mengangkat bakat dan minat setiap murid asuhannya dengan tanpa mengesampingkan pendikan moral dan sopan santun. Dan dari yang saya baca, sebagian besar teman-teman Totto-chan menjadi orang yang berhasil.
Cerita Totto-chan yang sangat ingin tahu melebihi kebanyakan anak-anak seumurnya ditambah dengan cara pendidikan ‘unik’ yang diterapkan sekolah “Tomoe Gakuen” merupakan sebuah pelajaran berharga yang sebenarnya bisa dipetik oleh para guru dan dosen di Indonesia, atau bahkan diadopsi sebagai cara pendidikan di Indonesia
Pertanyaannya adalah, apakah bisa cara pendidikan seperti itu diterapkan di Indonesia? Jawabnya : tentu saja BISA! Namun dengan ruwetnya sistem pendidikan yang diterapkan saat ini di Indonesia, saya tidak yakin hal itu bisa direalisasikan. Diperlukan seorang Sasuko Kobayashi Indonesia untuk menjabat Menteri Pendidikan dan memulai perubahan yang lebih positif.
Yang jelas, kita tertinggal jauh dari Jepang. Bayangkan saja, Sasuko Kobayashi sudah menerapkan sistem ini di Tomoe sejak tahun 1937. Dibutuhkan energi yang besar dan dukungan dari banyak pihak untuk menjadikannya berjalan di Indonesia. Saya cuma bisa berharap ,mudah-mudahan lahir seorang intelektual kreatif seperti Sasuko Kobayashi di Indonesia. Semoga!
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..