Proposal PTK Bahasa Inggris
PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
(CLASSROOM ACTION RESEARCH)
PENGGUNAAN TEKNIK DICTOGLOSS UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
DI SMK NEGERI 2 MALANG
Oleh :
Iwik Pratiwi, S.Pd
NIP. 19690402 199703 2 005
PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
(CLASSROOM ACTION RESEARCH)
PENGGUNAAN TEKNIK DICTOGLOSS UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
DI SMK NEGERI 2 MALANG
Oleh :
Iwik Pratiwi, S.Pd
NIP. 19690402 199703 2 005
A. JUDUL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
PENGGUNAAN TEKNIK DICTOGLOSS UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI
SMK NEGERI 2 MALANG
B. PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil pemetaan Try Out Ujian Nasional yang telah dilaksanakan tiga kali selama periode September 2010 sampai dengan Januari 2011, kemampuan menyimak siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya prosentase ketuntasan pada soal soal menyimak yang disajikan. Rendahnya kemampuan menyimak ini disebabkan:
1) Sebagian besar guru Bahasa Inggris di SMK Negeri 2 Malang masih lebih banyak mengajar dengan metode ceramah dan ekspository. Hal ini sangat dipahami karena masa belajar kelas XII yang lebih pendek dari pada kelas X dan XI , sehingga sebagian besar guru mengejar target kurikulum tanpa memperhitungkan keterserapan pembelajaran pada siswa. Selain itu, alokasi jam pembelajaran juga banyak terkurangi karena banyaknya kegiatan akademis dan non akademis yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan proses penuntasan belajar
siswa kelas XII.
2) Terbatasnya fasilitas pembelajaran untuk mendukung kemampuan menyimak seperti laboratorium bahasa, tape recorder, speaker dan lain lain mengakibatkan sebagian guru tidak mendapatkan kesempatan untuk mengajar menyimak atau lebih memilih untuk mengajar kemampuan lain, karena mengajar menyimak dianggap lebih merepotkan dan membutuhkan banyak persiapan.
3) Rendahnya kualitas pembelajaran juga merupakan faktor penyebab rendahnya kemampuan menyimak. Para guru yang mengajar siswa kelas XII dituntut untuk lebih banyak mempersiapkan anak didiknya menghadapi Ujian Nasional. Namun kebijakan ini lebih banyak diterjemahkan dengan cara menyajikan pembelajaran berbasis Ujian Nasional, dengan kata lain penyajian pembelajaran lebih ditekankan pada pembahasan soal soal try out dan prediksi Ujian Nasional. Akibatnya pembelajaran masih berpusat pada guru dan sebagian besar siswa
masih pasif.
Tidak mengherankan jika sampai saat ini Bahasa Inggris masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan dan bahkan membosankan bagi kelas XII, dan jika hal ini berlanjut, dikuatirkan akan mempengaruhi hasil Ujian Nasional. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran menyimak pada pelajaran Bahasa Inggris di SMK Negeri 2 Malang perlu diterapkan metode pembelajaran inovatif yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengaktualisasikan dirinya. Maka teknik dictogloss dipilih sebagai salah satu jalan keluar permasalahan tersebut. Teknik ini dipilih karena menonjolkan kerjasama dalam merekonstruksi bahan simakan sehingga siswa yang mempunyai kemampuan lebih bisa membantu siswa yang kemampuannya kurang. Selainn itu, juga didasarkan atas keunggulan yang dimiliki teknik dictogloss.
C. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian tindakan kelas ini permasalahan yang akan dicari penyelesaiannya adalah sebagai berikut
1) Bagaimana menggunakana teknik dictogloss untuk meningkatkan kemampuan menyimak dalam pembelajaran Bahasa Inggris kelas XII di SMK Negeri 2 Malang?
2) Bagaimana peningkatan kemampuan menyimak siswa SMK Negeri 2 Malang setelah menggunakan teknik dictogloss?
D. PEMECAHAN MASALAH
Sebagaimana dipaparkan pada bagian pendahuluan, permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya kemampuan menyimak siswa kelas XII adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran Bahasa Inggris, dan untuk memecahkan masalah itu guru perlu menerapkan teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa. Teknik Dictogloss dipilih karena teknik ini lebih banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan model Kemmis dan Tagart yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, obsertavasi, serta reflkesi. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas kelas XII SMK Negeri 2 Malang semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011. Pembelajaran menyimak dengan
teknik dictogloss dilaksanakan dengan empat tahap yaitu persiapan, dikte, rekonstruksi, serta analisis dan koreksi. Kemampuan menyimak siswa didasarkan pada nilai akhir dan ketuntasan secara klasikal.
Secara teknis langkah langkah pembelajaran meliputi :
1) Merancang rencana pembelajaran yang berorientasi pada teknik dictogloss
2) Melakukan pemodelan oleh peneliti dan diikuti oleh guru
3) Melakukan peer teaching dimana guru mencoba menerapkan teknik bersama dengan peneliti dan tim guru Bahasa Inggris SMK Negeri 2 Malang.
4) Memperbaiki Rencana pembelajaran agar dapat diimplementasi dengan baik.
5) Menerapkan teknik Dictogloss di kelas
6) Evaluasi dan refleksi
E. DEFINISI OPERASIONAL
1) Menyimak adalah mendengarkan dengan penuh pemahaman, perhatian, apresiasi, dengan interpretasi untuk memperoleh informasi, mencakup ide atau pesan serta memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara mulai ujaran atau bahasa lisan”. Pernyataan ini mengingatkan kita untuk memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara, kita harus mendengarkan baik – baik dengan penuh perhatian. Peristiwa menyimak selalu diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa baik secara langsung atau melalui rekaman. Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga didefinisikan bunyinya. Menurut Tarigan (1991:4) “Menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, dan mereaksi atas makna yang terkandung didalamnya” Jadi menyimak adalah proses pemahaman informasi mulai alat pendengaran sehingga mampu mengingat, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, baik memerlukan segenap kemampuan menyimak dari mendengar sampai dengan mereaksi bahasa simakan.
2) Dictogloss adalah kegiatan pembelajaran dengan teknik dikte; siswa mendengarkan wacana lisan, mengidentifikasi kata kunci dan bekerja sama secara berkelompok untuk merekonstruksi kembali wacana yang didiktekan. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Ruth Wajnryb (1990) sebagai alternative metode pembelajaran tata bahasa atau grammar.
F. LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini meliputi materi Bahasa Inggris kelas XII semester ganjil dengan kompetensi dasar :
G. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk “meningkatkan kemampuan menyimak siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang dengan menggunakan teknik Dictogloss.”
H. MANFAAT HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tindakan kelas ini akan memberikan kontribusi positif bagi siswa, guru, dan sekolah yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Bagi siswa. Pembelajaran menyimak dengan teknik Dictogloss akan memberikan pengalaman langsung bagi siswa untuk menyimak dan bekerja sama dalam kelompok. Hal ini akan meningkatkan motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyimak.
2) Bagi Guru. Penerapan teknik Dictogloss ini diharapkan dapat memecahkan masalah pembelajaran menyimak bagi guru dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris.
3) Bagi Sekolah. Terlaksananyaa penelitian tindakan kelas ini dapat digunakan sebagai acuan lebih lanjut dalam upaya upaya peningkatan kompetensi guru dan sebagai refleksi dan masukan pada revisi kurikulum pembelajaran Bahasa Inggris.
I. TINJAUAN PUSTAKA
1) Pembelajaran Konstruktivistik
Pembelajaran menyimak dalam kelas Bahasa Inggris yang dilakukan di SMK Negeri 2 Malang sebagian besar didominasi kegiatan ceramah dan ekspository. Guru menyajikan wacana lisan dalam bentuk contoh contoh soal, siswa diminta menjawab sesuai instruksi yang diberikan sebelumnya. Jika siswa belum memahami wacana lisan yang disajikan, guru akan menyajikan kembali wacana lisan sesuai kebutuhan siswa. Jika jawaban yang diberikan siswa benar, maka guru hanya memberikan sedikit penjelasan mengapa jawaban tersebut benar. Jika jawaban siswa salah maka guru akan memberikan penjelasan tentang wacana lisan yang diperdengarkan, dan sebagian besar hanya mengenai tata bahasa dan kosa kata yang ada dalam wacana lisan tersebut. Setelah itu guru akan menyajikan wacana lisan berikutnya untuk kemudian dibahas seperti sebelumnya, demikian seterusnya. Dalam hal ini siswa hanya mengetahui aspek aspek pembelajaran yang disajikan namun siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk merefleksikan
kompetensinya. Keadaan ini terjadi karena siswa hanya diminta untuk menyelesaikan beragam soal dan bukan berarti jika siswa dapat menyelesaikan soal maka siswa tersebut memiliki kompetensi menyimak yang baik.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social,
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.)
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan.
Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum. Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni
melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya
kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
2) Dictogloss
Kata dictogloss berasal bahasa Inggris dan terdiri dari dua kata, yaitu kata dicto atau dictate yang artinya dikte atau imla, dan kata gloss yang artinya tafsir Dictogloss adalah kegiatan pembelajaran dengan teknik dikte; siswa mendengarkan wacana lisan, mengidentifikasi kata kunci dan bekerja sama secara berkelompok untuk merekonstruksi kembali wacana yang didiktekan. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Ruth Wajnryb (1990) sebagai alternative metode pembelajaran tata bahasa atau grammar. Wajnryb berpendapat bahwa teknik Dictogloss memberikan pemahaman grammar yang tepat pada siswa karena pendekatannya yang interaktif memungkinkan terjadinya negoisasi makna dan pola. Dengan bekerja sama siswa terdorong untuk tetap aktif terlibat dalam proses pembelajaran. “Through active learner involvement students come to confront their own strengths and weaknesses in English language use. In so doing, they find out what they do not know, then they find out what they need to know.” (Wajnryb, 1990:10). David Nunan dalam Azies dan Alwasilah, (1996:85), mengemukakan bahwa teknik dictogloss, yaitu sebuah teknik dalam pengajaran menyimak yang tergolong komunikatif. Dalam teknik ini guru membacakan sebuah wacana singkat kepada siswa dengan kecepatan normal dan siswa diminta menuliskan kata sebanyak yang mereka mampu. Mereka kemudian bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk merekonstruksi wacana dengan berdasarkan serpihan-serpihan yang telah mereka tulis. Teknik ini mirip dengan
teknik dikte tradisional, walaupun hanya bersifat superficial. Dengan teknik ini siswa dilatih untuk mendengarkan, memahami, menginterpretasikan serta memberikan tanggapan terhadap informasi yamg didengarkannya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa di dalam teknik dictogloss terdapat dua buah teknik yang digunakan sebagai upaya pemahaman sebuah wacana lisan, yakni dikte dan teknik identifikasi kata kunci. Teknik dikte digunakan ketika wacana
diperdengarkan kepada siswa dengan kecepatan normal, sedangkan teknik identifikasi kata kunci digunakan ketika siswa diminta menuliskan kata-kata kunci atau kata-kata isi sebanyak yang mereka mampu. Djago Tarigan (1986:52), menyatakan bahwa identifikasi kata kunci adalah memilih kata yang merupakan pokok pikiran utama dalam wacana, maka dalam teknik dictogloss perlu adanya penemuan kata-kata yang merupakan kata kunci. Wacana lisan yang didengarkan oleh siswa, yaitu berupa rekaman cerita dalam kaset. Rekaman cerita tersebut merupakan salah satu media audio. Ada empat langkah dalam teknik dictogloss yang dikemukan oleh David Nunan dalam Azies dan Alwasillah (1996:86), yaitu:
Berdasarkan hasil pemetaan Try Out Ujian Nasional yang telah dilaksanakan tiga kali selama periode September 2010 sampai dengan Januari 2011, kemampuan menyimak siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya prosentase ketuntasan pada soal soal menyimak yang disajikan. Rendahnya kemampuan menyimak ini disebabkan:
1) Sebagian besar guru Bahasa Inggris di SMK Negeri 2 Malang masih lebih banyak mengajar dengan metode ceramah dan ekspository. Hal ini sangat dipahami karena masa belajar kelas XII yang lebih pendek dari pada kelas X dan XI , sehingga sebagian besar guru mengejar target kurikulum tanpa memperhitungkan keterserapan pembelajaran pada siswa. Selain itu, alokasi jam pembelajaran juga banyak terkurangi karena banyaknya kegiatan akademis dan non akademis yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan proses penuntasan belajar
siswa kelas XII.
2) Terbatasnya fasilitas pembelajaran untuk mendukung kemampuan menyimak seperti laboratorium bahasa, tape recorder, speaker dan lain lain mengakibatkan sebagian guru tidak mendapatkan kesempatan untuk mengajar menyimak atau lebih memilih untuk mengajar kemampuan lain, karena mengajar menyimak dianggap lebih merepotkan dan membutuhkan banyak persiapan.
3) Rendahnya kualitas pembelajaran juga merupakan faktor penyebab rendahnya kemampuan menyimak. Para guru yang mengajar siswa kelas XII dituntut untuk lebih banyak mempersiapkan anak didiknya menghadapi Ujian Nasional. Namun kebijakan ini lebih banyak diterjemahkan dengan cara menyajikan pembelajaran berbasis Ujian Nasional, dengan kata lain penyajian pembelajaran lebih ditekankan pada pembahasan soal soal try out dan prediksi Ujian Nasional. Akibatnya pembelajaran masih berpusat pada guru dan sebagian besar siswa
masih pasif.
Tidak mengherankan jika sampai saat ini Bahasa Inggris masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan dan bahkan membosankan bagi kelas XII, dan jika hal ini berlanjut, dikuatirkan akan mempengaruhi hasil Ujian Nasional. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran menyimak pada pelajaran Bahasa Inggris di SMK Negeri 2 Malang perlu diterapkan metode pembelajaran inovatif yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengaktualisasikan dirinya. Maka teknik dictogloss dipilih sebagai salah satu jalan keluar permasalahan tersebut. Teknik ini dipilih karena menonjolkan kerjasama dalam merekonstruksi bahan simakan sehingga siswa yang mempunyai kemampuan lebih bisa membantu siswa yang kemampuannya kurang. Selainn itu, juga didasarkan atas keunggulan yang dimiliki teknik dictogloss.
C. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian tindakan kelas ini permasalahan yang akan dicari penyelesaiannya adalah sebagai berikut
1) Bagaimana menggunakana teknik dictogloss untuk meningkatkan kemampuan menyimak dalam pembelajaran Bahasa Inggris kelas XII di SMK Negeri 2 Malang?
2) Bagaimana peningkatan kemampuan menyimak siswa SMK Negeri 2 Malang setelah menggunakan teknik dictogloss?
D. PEMECAHAN MASALAH
Sebagaimana dipaparkan pada bagian pendahuluan, permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya kemampuan menyimak siswa kelas XII adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran Bahasa Inggris, dan untuk memecahkan masalah itu guru perlu menerapkan teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa. Teknik Dictogloss dipilih karena teknik ini lebih banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan model Kemmis dan Tagart yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, obsertavasi, serta reflkesi. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas kelas XII SMK Negeri 2 Malang semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011. Pembelajaran menyimak dengan
teknik dictogloss dilaksanakan dengan empat tahap yaitu persiapan, dikte, rekonstruksi, serta analisis dan koreksi. Kemampuan menyimak siswa didasarkan pada nilai akhir dan ketuntasan secara klasikal.
Secara teknis langkah langkah pembelajaran meliputi :
1) Merancang rencana pembelajaran yang berorientasi pada teknik dictogloss
2) Melakukan pemodelan oleh peneliti dan diikuti oleh guru
3) Melakukan peer teaching dimana guru mencoba menerapkan teknik bersama dengan peneliti dan tim guru Bahasa Inggris SMK Negeri 2 Malang.
4) Memperbaiki Rencana pembelajaran agar dapat diimplementasi dengan baik.
5) Menerapkan teknik Dictogloss di kelas
6) Evaluasi dan refleksi
E. DEFINISI OPERASIONAL
1) Menyimak adalah mendengarkan dengan penuh pemahaman, perhatian, apresiasi, dengan interpretasi untuk memperoleh informasi, mencakup ide atau pesan serta memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara mulai ujaran atau bahasa lisan”. Pernyataan ini mengingatkan kita untuk memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara, kita harus mendengarkan baik – baik dengan penuh perhatian. Peristiwa menyimak selalu diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa baik secara langsung atau melalui rekaman. Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga didefinisikan bunyinya. Menurut Tarigan (1991:4) “Menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, dan mereaksi atas makna yang terkandung didalamnya” Jadi menyimak adalah proses pemahaman informasi mulai alat pendengaran sehingga mampu mengingat, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, baik memerlukan segenap kemampuan menyimak dari mendengar sampai dengan mereaksi bahasa simakan.
2) Dictogloss adalah kegiatan pembelajaran dengan teknik dikte; siswa mendengarkan wacana lisan, mengidentifikasi kata kunci dan bekerja sama secara berkelompok untuk merekonstruksi kembali wacana yang didiktekan. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Ruth Wajnryb (1990) sebagai alternative metode pembelajaran tata bahasa atau grammar.
F. LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini meliputi materi Bahasa Inggris kelas XII semester ganjil dengan kompetensi dasar :
G. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk “meningkatkan kemampuan menyimak siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang dengan menggunakan teknik Dictogloss.”
H. MANFAAT HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tindakan kelas ini akan memberikan kontribusi positif bagi siswa, guru, dan sekolah yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Bagi siswa. Pembelajaran menyimak dengan teknik Dictogloss akan memberikan pengalaman langsung bagi siswa untuk menyimak dan bekerja sama dalam kelompok. Hal ini akan meningkatkan motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyimak.
2) Bagi Guru. Penerapan teknik Dictogloss ini diharapkan dapat memecahkan masalah pembelajaran menyimak bagi guru dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris.
3) Bagi Sekolah. Terlaksananyaa penelitian tindakan kelas ini dapat digunakan sebagai acuan lebih lanjut dalam upaya upaya peningkatan kompetensi guru dan sebagai refleksi dan masukan pada revisi kurikulum pembelajaran Bahasa Inggris.
I. TINJAUAN PUSTAKA
1) Pembelajaran Konstruktivistik
Pembelajaran menyimak dalam kelas Bahasa Inggris yang dilakukan di SMK Negeri 2 Malang sebagian besar didominasi kegiatan ceramah dan ekspository. Guru menyajikan wacana lisan dalam bentuk contoh contoh soal, siswa diminta menjawab sesuai instruksi yang diberikan sebelumnya. Jika siswa belum memahami wacana lisan yang disajikan, guru akan menyajikan kembali wacana lisan sesuai kebutuhan siswa. Jika jawaban yang diberikan siswa benar, maka guru hanya memberikan sedikit penjelasan mengapa jawaban tersebut benar. Jika jawaban siswa salah maka guru akan memberikan penjelasan tentang wacana lisan yang diperdengarkan, dan sebagian besar hanya mengenai tata bahasa dan kosa kata yang ada dalam wacana lisan tersebut. Setelah itu guru akan menyajikan wacana lisan berikutnya untuk kemudian dibahas seperti sebelumnya, demikian seterusnya. Dalam hal ini siswa hanya mengetahui aspek aspek pembelajaran yang disajikan namun siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk merefleksikan
kompetensinya. Keadaan ini terjadi karena siswa hanya diminta untuk menyelesaikan beragam soal dan bukan berarti jika siswa dapat menyelesaikan soal maka siswa tersebut memiliki kompetensi menyimak yang baik.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social,
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.)
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan.
Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum. Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni
melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya
kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
2) Dictogloss
Kata dictogloss berasal bahasa Inggris dan terdiri dari dua kata, yaitu kata dicto atau dictate yang artinya dikte atau imla, dan kata gloss yang artinya tafsir Dictogloss adalah kegiatan pembelajaran dengan teknik dikte; siswa mendengarkan wacana lisan, mengidentifikasi kata kunci dan bekerja sama secara berkelompok untuk merekonstruksi kembali wacana yang didiktekan. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Ruth Wajnryb (1990) sebagai alternative metode pembelajaran tata bahasa atau grammar. Wajnryb berpendapat bahwa teknik Dictogloss memberikan pemahaman grammar yang tepat pada siswa karena pendekatannya yang interaktif memungkinkan terjadinya negoisasi makna dan pola. Dengan bekerja sama siswa terdorong untuk tetap aktif terlibat dalam proses pembelajaran. “Through active learner involvement students come to confront their own strengths and weaknesses in English language use. In so doing, they find out what they do not know, then they find out what they need to know.” (Wajnryb, 1990:10). David Nunan dalam Azies dan Alwasilah, (1996:85), mengemukakan bahwa teknik dictogloss, yaitu sebuah teknik dalam pengajaran menyimak yang tergolong komunikatif. Dalam teknik ini guru membacakan sebuah wacana singkat kepada siswa dengan kecepatan normal dan siswa diminta menuliskan kata sebanyak yang mereka mampu. Mereka kemudian bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk merekonstruksi wacana dengan berdasarkan serpihan-serpihan yang telah mereka tulis. Teknik ini mirip dengan
teknik dikte tradisional, walaupun hanya bersifat superficial. Dengan teknik ini siswa dilatih untuk mendengarkan, memahami, menginterpretasikan serta memberikan tanggapan terhadap informasi yamg didengarkannya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa di dalam teknik dictogloss terdapat dua buah teknik yang digunakan sebagai upaya pemahaman sebuah wacana lisan, yakni dikte dan teknik identifikasi kata kunci. Teknik dikte digunakan ketika wacana
diperdengarkan kepada siswa dengan kecepatan normal, sedangkan teknik identifikasi kata kunci digunakan ketika siswa diminta menuliskan kata-kata kunci atau kata-kata isi sebanyak yang mereka mampu. Djago Tarigan (1986:52), menyatakan bahwa identifikasi kata kunci adalah memilih kata yang merupakan pokok pikiran utama dalam wacana, maka dalam teknik dictogloss perlu adanya penemuan kata-kata yang merupakan kata kunci. Wacana lisan yang didengarkan oleh siswa, yaitu berupa rekaman cerita dalam kaset. Rekaman cerita tersebut merupakan salah satu media audio. Ada empat langkah dalam teknik dictogloss yang dikemukan oleh David Nunan dalam Azies dan Alwasillah (1996:86), yaitu:
- Persiapan. Pada tahap ini guru mempersiapkan siswa untuk menghadapi teks yang akan mereka dengar dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan gambar stimulus, dengan membahas kosakata, dengan meyakinkan bahwa siswa tahu apa yang harus dilakukan, dan dengan meyakinkan bahwa siswa ada pada kelompok yang sesuai.
- Dikte. Pembelajar mendengarkan dikte dua kali. Pertama mereka hanya mendengarkan dan mendapatkan gambaran umum teks tersebut. Kedua, mereka membuat catatan, dengan dimotivasi akan membantu mereka merekontruksikan teks. Untuk alasan konsistensi, lebih baik siswa mendengarkan teks tersebut melalui tape recorder bukan dari teks yang dibacakan guru.
- Rekonstruksi. Pada akhir dikte, pembelajar mengumpulkan catatancatatan dan menyusun kembali teks versi mereka. Selama tahap ini perlu diingat bahwa guru tidak memberikan masukan bahasa pada siswa.
- Analisis dan Koreksi. Ada berbagai cara untuk menangani tahap ini. Pertama, setiap teks versi siswa bisa ditulis pada papan tulis atau ditayangkan melalui overhead projector (OHP) atau LCD. Kedua, teks bisa diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada semua siswa. Ketiga, siswa bisa membandingkan versi mereka dengan teks asli, kalimat demi kalimat.
Teknik dictogloss ini bisa menjadi jembatan yang berguna antara menyimak Bottom up dan Top down. Dalam kasus pertama, pembelajar terutama berurusan dengan bagaimana mengenali unsur-unsur individual dalam teks (strategi bottomup). Namun, selama diskusi kelompok-kelompok kecil, beberapa atau semua strategi top down mungkin disertakan. Pada strategi ini, pembelajar akan mengintegrasikan pengetahuan “dalam kepala” atau background knowledge
mereka. Dengan teknik dictogloss pembelajar akan mampu: 1) membuat prediksi, 2) membuat inferensi-inferensi hal-hal yang tidak ada dalam teks, 3) mengenali topik teks, 4) mengenali jenis teks (apakah naratif, deskriptif, anekdot, dan sebagainya), 5) mengenali berbagai jenis hubungan semantik di dalam teks (Azies dan Alwasilah, 1996:85-86).
J. PROSEDUR PENELITIAN
1) Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu partisipasi siswa, interaksi guru dan siswa, interaksi antar siswa untuk dapat menjawab permasalahan dan kemampuan siswa dalam menyimak wacana lisan melalui teknik pembelajaran dictogloss. Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan alokasi
waktu dan pokok bahasan yang dipilih. Masing masing siklus terdiri dari empat langkah (Kemmis dan Mc.taggart, 1988) berikut :
mereka. Dengan teknik dictogloss pembelajar akan mampu: 1) membuat prediksi, 2) membuat inferensi-inferensi hal-hal yang tidak ada dalam teks, 3) mengenali topik teks, 4) mengenali jenis teks (apakah naratif, deskriptif, anekdot, dan sebagainya), 5) mengenali berbagai jenis hubungan semantik di dalam teks (Azies dan Alwasilah, 1996:85-86).
J. PROSEDUR PENELITIAN
1) Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu partisipasi siswa, interaksi guru dan siswa, interaksi antar siswa untuk dapat menjawab permasalahan dan kemampuan siswa dalam menyimak wacana lisan melalui teknik pembelajaran dictogloss. Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan alokasi
waktu dan pokok bahasan yang dipilih. Masing masing siklus terdiri dari empat langkah (Kemmis dan Mc.taggart, 1988) berikut :
- perencanaan, yaitu merumuskan masalah, menentukan tujuan dan metode penelitian serta membuat rencana tindakan.
- tindakan, yang dilaksanakan sebagai upaya perubahan yang dilakukan menuju arah yang lebih baik.
- observasi, dilakukan secara sistematis untuk mengamati hasil atau dampak tindakan terhadap proses belajar mengajar, dan
- refleksi, yaitu mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau dampak tindakan yang dilakukan.
2) Subyek Penelitian
Sasaran penelitian adalah siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang yang beralamat di Jl. Veteran No. 17 Malang.
3) Pelaksanaan Penelitian
Siklus pertama
a. Perencanaan.
Dalam siklus ini peneliti menyusun perencanaan tindakan berdasarkan tujuan penelitian yakni menyusun bahan ajar, RPP, skenario pembelajaran, handouts, quis dan lembar observasi.
b. Pelaksanaan
· Siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran teknik dictogloss
· Siswa dibagi dalam kelompok kelompok berdasarkan pertimbangan kemampuan akademik
· Pembelajaran dimulai dengan kegiatan apersepsi
· Siswa diminta menyelesaikan soal latihan kosa kata yang berhubungan dengan pokok bahasan pembelajaran
· Guru mengamati proses penyelesaian soal latihan kosa kata dan bersama sama memecahkan soal latihan yang sulit.
· Guru menyajikan wacana lisan yang berhubungan dengan pokok bahasan pembelajaran melalui media audio atau audio visual.
· Guru memberikan pertanyaan pertanyaan global mengenai wacana lisan tersebut dan siswa menjawab secara lisan.
· Siswa menyimak lagi sambil membuat catatan beberapa kata kunci
yang diperoleh dari simakan
· Siswa membandingkan hasil catatan mereka dalam kelompok dan
mengumpulkan semua informasi yang diperoleh dari simakan
· Siswa menyimak sekali lagi lalu secara berkelompok merekonstruksi
hasil simakan mereka.
· Setiap kelompok membacakan hasil rekonstruksi simakan.
· Siswa menganalisis dan merefleksikan hasil rekonstruksi simakan
mereka dengan teks asli dari bahan simakan.
c. Pengamatan
Selama tahap pelaksanaan peneliti melakukan observasi terhadap kegiatan siswa pada saat latihan kosa kata, diskusi hasil catatan kata kunci dan rekonstruksi simakan dengan menggunakan lembar observasi.
d. Refleksi
· Analisis hasil observasi mengenai : keaktifan siswa, hasil kegiatan kelompok, hasil quis dan kaitannya dengan hasil kegiatan kelompok, kualitas rekonstruksi simakan yang dibuat siswa
dipakai sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus berikutnya.
· Analisis beberapa kekurangan / kelemahan. Indikator keberhasilan pada siklus I disajikan pada table berikut :
Siklus Kedua
Siklus kedua dilaksanakan seperti pada siklus pertama, namun sebelumnya didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil hasil yang diperoleh pada siklus pertama. Hal ini dilakukan untuk mengeliminir kelemahan kelemahan yang muncul di siklus pertama. Selain itu prosedur pelaksanaan teknik dictogloss dapat di kembangkan untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa sehingga indikatornya meningkat di siklus kedua.
4). Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah :
a. Lembar observasi
b. Questioner
c. Lembar penilaian hasil pencatatan
d. Lembar penilaian hasil rekonstruksi
e. Kuis atau tes prestasi belajar
5). Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi dan tes. Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan masing masing siswa sebagai dasar pembagian kelompok. Teknik observasi digunakan untuk mengetahui kualitas proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi dan kamera video, dan test digunakan untuk mengetahui kualitas hasil belajar siswa. Semua data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan cara dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada pengumpulan data sebelumnya.
K. JADWAL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan terhitung mulai Januari 2011 hingga Maret 2011,
M. DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Djago. 1998. Ketrampilan Menyimak. Bandung : Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. 1997. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung
Dasna, I Wayan, 2008. Penelitian TIndakan Kelas (PTK). Panitia Sertifikasi Guru,
Universitas Negeri Malang.
Lim, W.L. and Jacobs, G. M. (2001). An analysis of students’ dyadic interaction on a
dictogloss task. ERIC Document Reproduction Service No. ED 456 649.
Storch, N. (1998). A classroom-based study: Insights from a collaborative reconstruction
task. ELT Journal, 52 (4):
George Jacobs, 2003. Combining Dictogloss and Cooperative Learning to Promote
language learning, The Reading Matrix. Vol.3. No.1, April 2003
Sasaran penelitian adalah siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang yang beralamat di Jl. Veteran No. 17 Malang.
3) Pelaksanaan Penelitian
Siklus pertama
a. Perencanaan.
Dalam siklus ini peneliti menyusun perencanaan tindakan berdasarkan tujuan penelitian yakni menyusun bahan ajar, RPP, skenario pembelajaran, handouts, quis dan lembar observasi.
b. Pelaksanaan
· Siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran teknik dictogloss
· Siswa dibagi dalam kelompok kelompok berdasarkan pertimbangan kemampuan akademik
· Pembelajaran dimulai dengan kegiatan apersepsi
· Siswa diminta menyelesaikan soal latihan kosa kata yang berhubungan dengan pokok bahasan pembelajaran
· Guru mengamati proses penyelesaian soal latihan kosa kata dan bersama sama memecahkan soal latihan yang sulit.
· Guru menyajikan wacana lisan yang berhubungan dengan pokok bahasan pembelajaran melalui media audio atau audio visual.
· Guru memberikan pertanyaan pertanyaan global mengenai wacana lisan tersebut dan siswa menjawab secara lisan.
· Siswa menyimak lagi sambil membuat catatan beberapa kata kunci
yang diperoleh dari simakan
· Siswa membandingkan hasil catatan mereka dalam kelompok dan
mengumpulkan semua informasi yang diperoleh dari simakan
· Siswa menyimak sekali lagi lalu secara berkelompok merekonstruksi
hasil simakan mereka.
· Setiap kelompok membacakan hasil rekonstruksi simakan.
· Siswa menganalisis dan merefleksikan hasil rekonstruksi simakan
mereka dengan teks asli dari bahan simakan.
c. Pengamatan
Selama tahap pelaksanaan peneliti melakukan observasi terhadap kegiatan siswa pada saat latihan kosa kata, diskusi hasil catatan kata kunci dan rekonstruksi simakan dengan menggunakan lembar observasi.
d. Refleksi
· Analisis hasil observasi mengenai : keaktifan siswa, hasil kegiatan kelompok, hasil quis dan kaitannya dengan hasil kegiatan kelompok, kualitas rekonstruksi simakan yang dibuat siswa
dipakai sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus berikutnya.
· Analisis beberapa kekurangan / kelemahan. Indikator keberhasilan pada siklus I disajikan pada table berikut :
Siklus Kedua
Siklus kedua dilaksanakan seperti pada siklus pertama, namun sebelumnya didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil hasil yang diperoleh pada siklus pertama. Hal ini dilakukan untuk mengeliminir kelemahan kelemahan yang muncul di siklus pertama. Selain itu prosedur pelaksanaan teknik dictogloss dapat di kembangkan untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa sehingga indikatornya meningkat di siklus kedua.
4). Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah :
a. Lembar observasi
b. Questioner
c. Lembar penilaian hasil pencatatan
d. Lembar penilaian hasil rekonstruksi
e. Kuis atau tes prestasi belajar
5). Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi dan tes. Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan masing masing siswa sebagai dasar pembagian kelompok. Teknik observasi digunakan untuk mengetahui kualitas proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi dan kamera video, dan test digunakan untuk mengetahui kualitas hasil belajar siswa. Semua data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan cara dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada pengumpulan data sebelumnya.
K. JADWAL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan terhitung mulai Januari 2011 hingga Maret 2011,
M. DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Djago. 1998. Ketrampilan Menyimak. Bandung : Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. 1997. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung
Dasna, I Wayan, 2008. Penelitian TIndakan Kelas (PTK). Panitia Sertifikasi Guru,
Universitas Negeri Malang.
Lim, W.L. and Jacobs, G. M. (2001). An analysis of students’ dyadic interaction on a
dictogloss task. ERIC Document Reproduction Service No. ED 456 649.
Storch, N. (1998). A classroom-based study: Insights from a collaborative reconstruction
task. ELT Journal, 52 (4):
George Jacobs, 2003. Combining Dictogloss and Cooperative Learning to Promote
language learning, The Reading Matrix. Vol.3. No.1, April 2003
Tks pak sangat berguna.Kalau boleh share pak literatur tentang Teknik Dictoglossnya bisa didapat dimana? karna udah keliling saya cari gak ketemu2. trims
ReplyDeleteijin copas yaaach, buat referensi, terimakasiih
ReplyDelete