Bahasa dan Pikiran
Bahasa dan Pikiran Saling Terkait?
Mungkin itu salah satu pertanyaan yang pernah mampir dalam benak kita. Namun, beberapa pakar psikolinguistik telah memikirkan hal ini sejak lama dan telah menelitinya.
Salah satu pakar Psikolinguistik yang mendalami kaitan antara bahasa dan pikiran adalah Soenjono. Dalam buku Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Soenjono berpendapat bahwa orang sudah lama sekali berbicara tentang otak dan bahasa. Aristotle pada tahun 384-322 Sebelum Masehi telah berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini diketahui dilakukan juga oleh otak. Dari pendapat Soenjono tersebut dapat dilihat jelas bahwa ada keterkaitan antara otak dan bahasa. Otak merupakan organ yang berfungsi untuk berpikir. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa ada keterkaitan antara pikiran dan bahasa.
Pendapat para ahli mengenai keterkaitan bahasa & pikiran dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Ahli yang berpendapat bahwa bahasa mempengaruhi pikiran
Ahli yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Menurut mereka pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran kita dapat terkondisikan oleh kata yang kita digunakan. Whorf dalam Rahmat (2000) mengatakan bahwa keterkaitan antara bahasa dengan pikiran terletak pada asumsi bahwa bahasa mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia, serta mempengaruhi pemikiran individu pemakai bahasa itu. Sebagai contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
3. Ahli yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata-kata atau bahasa dan pikiran memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mempengaruhi. Di satu sisi kata-kata merupakan media yang digunakan untuk memahami dunia serta digunakan dalam proses berpikir, di sisi yang lain pemahaman terhadap kata-kata merupakan hasil dari aktifitas pikiran (http://widhiarso.staff.ugm.ac.id).
Dari beberapa ahli di atas, hanya pendapat Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh para peneliti. Sapir dan Whorf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Whorf mengemukakan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran, yaitu:
1. Hipotesis pertama adalah Linguistic Relativity Hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif nonbahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Untuk memperkuat hipotesisnya Sapir dan Whorf memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkansalju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju itu tetap dinamakan salju.
Di samping contoh di atas, hipotesis Sapir dan Whorf didukung oleh beberapa temuan di bidang terutama bidang antropologi. Di bidang tersebut dicontohkan bahwa dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda akan mengurutkan warna sekunder yang berbeda. Language relativistics melihat bahwa kategori yang ada di dalam bahasa menjadi dasar dalam aktivitas mental seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan. Jika asumsi ini benar maka studi tentang bahasa mengarah pada perbedaan pikiran yang diakibatkan sistem tersebut.
Berdasarkan ketiga kategori tersebut, saya sependapat bahwa “Pikiran mempengaruhi bahasa”. Hal ini dikarenakan, semua tindakan manusia dilandasi oleh pola pikir (pikiran). Pola pikir yang baik akan menghasilkan tindakan yang baik, termasuk berbahasa. Misal, manusia yang hilang akal (tidak memiliki otak/pikiran yang berfungsi normal) tidak akan mampu berbahasa dengan baik dan benar. Seperti halnya anak-anak pra sekolah pada umumnya belum mampu berbahasa dengan lancar karena memiliki kosakata yang terbatas dibandingkan orang dewasa normal. Hal ini disebabkan karena pada usia pra sekolah kemampuan otak mereka belum berkembang dengan sempurna.
Bukti lain bahwa “Pikiran mempengaruhi bahasa” dapat dilihat pada orang yang kilir lidah dan penderita afasia.
1. Kilir Lidah
Kilir lidah adalah suatu fenomena dalam produksi ujaran di mana pembicara ‘terkilir’ lidahnya sehingga kata-kata yang diproduksi bukanlah kata yang dia maksudkan. Kesalahan yang berupa kilir lidah seperti kelapa untuk kepalamenunjukkan bahwa kata ternyata tidak tersimpan secara utuh dan orang harus meramunya (Meyer dalam Soenjono, 2008:142). Dalam hal ini yang memiliki peran yang sangat besar dalam meramu sebuah kata agar antaralangue dan parole itu sesuai adalah otak (pikiran). Biasanya kilir lidah terjadi pada waktu orang yang berbicara merasa gugup atau ketakutan, sehingga antara konsep yang ada di pikiran dengan bahasa yang diujarkan mengalami perbedaan.
2. Afasia
Afasia adalah suatu penyakit wicara di mana orang tidak dapat berbicara dengan baik karena adanya penyakit pada otaknya. Penyakit ini pada umumnya muncul karena orang tersebut menderita stroke, yakni, sebagian otaknya kekurangan oksigen sehingga bagian tadi menjadi cacat (Soenjono, 2008:151).
Penyebab afasia selalu berupa cedera otak. Pada kebanyakan kasus, afasia dapat disebabkan oleh pendarahan otak. Selain itu dapat juga disebabkan oleh kecelakaan atau tumor. Seseorang mengalami pendarahan otak jika aliran darah di otak tiba-tiba mengalami gangguan. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara yaitu terjadi penyumbatan pada pembuluh darah dan kebocoran pada pembuluh darah. Untuk berkomunikasi dengan penderita afasia sebaiknya menggunakan bahasa isyarat, gambar, tulisan, atau dengan menunjuk.
Dari kedua contoh di atas, maka jelas ada keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Sebelum bahasa diujarkan akan diproses terlebih dahulu di dalam otak.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rahmat, J. 2000. Catatan Kang Jalal. Bandung: Rosda Karya.
Widhiarso. 2008. Percikan Perenungan tentang Bahasa Oleh Dosen.(online)(http://widhiarso.staff.ugm.ac.id diakses 15 Agustus 2008).
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..