URGENSI PENGEMBANGAN BAHASA ASING DI PESANTREN
Oleh: A. Dimyati
Makalah dipresentasikan pada acara Stadium General & Classroom Language; “Urgensi bahasa Inggris dan Metodologi pengajarannya di Sekolah Islam dan Pesantren”, Ahad, 19 April 2009 di Aula Pesantren Maslakul Huda, Kajen Margoyoso Pati jawa Tengah.
Pendahuluan
Secara terminologis bahasa didefinisikan sebagai suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Dari definisi di atas dapat ditangkap sebuah pemahaman bahwa bahasa memegang peranan sangat vital dalam kehidupan sosial manusia. Para ahli memetakan fungsi bahasa dalam kehidupan bermasyarakat menjadi beberapa point, yaitu:
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia (bersosialisasi).
3. Alat untuk mengidentifikasi (aktualisasi) diri.
4. Alat rekayasa sosial
Sekalipun hampir semua mengetahui arti penting penguasaan bahasa asing, akan tetapi kesadaran untuk mempelajarinya tidak selalu berjalan secara linear. Kondisi serupa ditemukan pada lembaga pesantren, terutama yang diidentifikasi sebagai pesantren tradisional. Ada beberapa sebab mengapa bahasa asing (selain bahasa Arab) kurang mendapat perhatian di kalangan komunitas pesantren. Pertama, terdapat kendala psikologis berupa ketakutan untuk mempelajarinya. Selama ini ketika orang berbicara tentang bahasa Inggris misalnya, yang muncul dalam anggapan kemudian adalah bahwa bahasa tersebut sangat sulit untuk dipelajari. Kedua, terdapat kendala budaya dalam arti bahwa mempelajari bahasa asing di pesantren dianggap bukan sebuah kelaziman. Ketiga, minimnya akses terhadap pemahaman tentang bahasa asing itu sendiri. Keempat, kurangnya sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkan bahasa asing. Keempat, sebuah faktor yang sangat mendasar adalah adanya bias-bias ideologis dimana bahasa dipahami sebagai bagian dari agama tertentu. Misalnya bahasa Arab dianggap sebagai bahasa Islam, bahasa Inggris sebagai bahasa orang Kristen, bahasa Cina sebagai representasi bahasa agama Konghucu dan sebagainya.
Bahasa Asing dan Pesantren
Selama ini di masyarakat terdapat pandangan yang ambigu terhadap pesantren. Satu sisi pesantren identik dengan ”ketradisionalan” dalam arti yang negatif (tertinggal, kolot dan sebagainya), namun sebagian kalangan yang lain memandang bahwa pesantren adalah sebuah entitas tersendiri dengan ciri khasnya yang tidak dimiliki institusi lain, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang dijalankan. Kontradiksi seperti itulah yang pada gilirannya justru menjadi daya magnit pesantren yang dapat memikat berbagai kalangan untuk menyelaminya lebih jauh dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.
Terkait dengan bahasa asing, sejatinya sistem pendidikan pesantren telah memiliki akar yang cukup kuat. Penguasaan bahasa asing (khususnya bahasa Arab) menjadi salah satu ciri khas bahkan tolok ukur bagi tingkat keberhasilan pembelajaran yang dijalankan. Hal ini dengan mudah dapat diketahui dari literatur-literatur yang diajarkan dimana literatur berbahasa Arab sangat dominan. Selain itu ilmu-ilmu kebahasaan (nahwu, sharaf, balaghah) juga diajarkan secara sistematis pada semua level. Sayangnya bahwa pemahaman tentang bahasa asing sejauh ini hanya dibatasi oleh ”bahasa Arab”. Sebagaimana disebutkan di atas, hal itu tidak lepas dari pandangan umum di kalangan pesantren yang menganggap bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dapat diterima karena merupakan bahasa ”agama”.
Lebih jauh, anggapan demikian muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang sudah mengakar dan menyejarah di pesantren sebagai bagian dari dakwah islamiyah. Menurut Muhammad Yunus, sejak semula keberadaan pesantren memang mengemban misi utama dalam penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi.
Sistem Pendidikan Islam di Pesantren
(Periode Sultan Agung)
Pesantren Takhassus: dengan spesifikasi pengetahuan keislaman dan tarekat. Mampelajari pelajaran khusus secara mendalam serta belajar tarekat tertentu khususnya Qadariyah, Naqsyabandiyah dan Syatiriyah.
(Tingkat Tertinggi)
Pesantren Besar dan Umum: mempelajari fiqh, tafsir, hadis, astronomi (falak), tata bahasa Arab dan tasawuf.
(Tingkat Tinggi)
Pesantren Daerah dengan Kitab-kitab Elementer: mempelajari kitab-kitab fiqh dengan penekanan pada mazhab syarfi’i seperti Fathul Qarib, dasar-dasar akhlaq seperti Bidayatul Hidayah.
(Tingkat Menengah)
Kelas-kelas al-Qur’an bagi anak-anak usia 7 tahun ke atas. Tujuannya membekali para santri dengan kemampuan membaca al-Qur’an
(Tingkat Dasar)
Sumber: Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 226-227
Perlakuan istimewa terhadap bahasa Arab pada gilirannya membuat sekat-sekat bagi kemungkinan memasukkan bahasa asing lain untuk dipelajari di pesantren. Jika demikian halnya, maka hal yang paling mendasar untuk dilakukan sebelum mengajarkan bahasa asing, khsususnya bahasa Inggris di pesantren adalah merubah cara pandang terhadapnya dan menyadarkan pentingnya penguasaan bahasa Inggris di pesantren, terutama di era global ini.
Bagaimana memulai?
Setelah merubah cara pandang dan penyadaran akan arti penting bahasa Inggris bagi pesantre, masih ada beberapa langkah yang mesti dilakukan, yaitu mapping, analyzing, planning, doing dan evaluating.
Mapping atau pemetaan persoalan adalah langkah-langkah identifikasi awal apa saja persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pesantren selama ini khususnya yang terkait dengan pengajaran bahasa Inggris. Juga memetakan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi jika ingin mengembangkan bahasa Inggris dan aspek-aspek terkait.
Setelah dilakukan mapping, langkah penting selanjutnya adalah melakukan analisis (analyzing), sejauhmana kemungkinan, peluang, tantangan yang dapat diperkirakan. Salah satu model analisis yang lazim digunakan untuk mengetahui peluang dan tantangan tersebut adalah model SWOT Analysis yang dikembangkan oleh Albert Humphrey .
Dalam gambar di atas ada empat unsur yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis, yaitu unsur strengths (kelebihan, kekuatan), weaknesses (kelemahan-kelemahan), opportunities (peluang-peluang) dan threats (tantangan-tangangan).
Dalam konteks analisis terhadap kemungkinan pengajaran bahasa Inggris di pesantren, maka model analisis tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
Strengths:
– Terbiasa dengan kajian bahasa asing, khususnya bahasa Arab
– Sistem pendidikan yang menunjang (model boarding)
– Kepemiminan
– Networking dengan luar negeri
Weaknesses:
– Pandangan minor terhadap bahasa inggris
– Bias-bias ideology
– Minimnya fasilitas
– Minimnya SDM
Opportunities:
– Pesantren telah diakui eksistensinya sebagai bagian dari sisdiknas
– Dibukanya lembaga-lembaga formal; m’had ali, takhassus, lembaga bahasa asing
– Beasiswa Studi lanjutan ke berbagai Negara
– Program-program pertukaran mahasiswa/ pesantren
Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa peluang pengajaran dan pengembangan bahasa Inggris di pesantren sangat terbuka. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah adanya itikad baik (good will) dari para penentu kebijakan pesantren untuk memprakarsai lahirnya lembaga-lembaga pendidkan bahasa asing (Inggris) yang dikelola oleh pesantren masing-masing.
Tentang Metode Pembelajaran
Sebagaiamana dikemukakan sebelumnya, salah satu kendala bagi upaya pengembangan bahasa Inggris di pesantren adalah adanya anggapan bahwa bahasa Inggris itu sulit. Anggapan tersebut tidak dapat dikesmpingkan begitu saja, sebab kenyataannya justru berangkat dari sekedar anggapan seperti itulah yang justru menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak pernah berkembang dengan baik di lembaga-lembaga pendidikan (tidak hanya pesantren).
Salah satu cara yang disarankan oleh para praktisi pengajar bahasa Inggris untuk menghilangkan anggapan seperti itu adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan bahasa Inggris dengan metode yang tepat. Sejauh ini sudah banyak metode yang dikenal, seperti metode pengajaran bahasa untuk bahasa, metode psikolearning, metode interaksi sosial dan sebagainya. (Di sini hanya akan diuraikan sedikit beberapa metode tersebut). Ppemiihan metode yang tepat, selain dapat menghilangkan kesan sulit terhadap bahasa Inggris juga dapat membantu mempercepat dalam penguasaan.
Psikolearning
Secara sederhana barangkali psikolearning dapat dipahami sebagai metode peembelajaran yang menggunakan pendekatan dengan menyesuaikan kondisi psikologis peserta didik. Dalam perspektif psikologi kondisi seseorang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: auditory, visual dan kinesthetic.
Auditory adalah kondisi seseorang dimana dalam perilakunya lebih banyak menggunakan unsur pendengarannya. Orang seperti ini biasanya lebih nyaman jika mendengarkan music yang bagus, lagu yang dapat menggugah semangat dan sebagainya. Lebih mudahnya orang yang tertarik pada keindahan suara. Metode pembelajaran yang tepat untuk orang dalam kategori ini adalah auditory learning, yaitu cara mudah belajar dengan medengarkan. Cara ini bisa ditunjang dengan banyak mendengarkan lagu-lagu favorit, berita, pidato, menyimak lebih banyak percakapan dalam bahasa asing. Dengan unkapan dan ucapan yang digunakan, perhatikan konteks ataupun situasi di mana kata-kata tersebut digunakan. Lalu, lakukan hal ini berulang-ulang, maka kita akan bertemu dengan ungkapan serupa, yang dapat kita latih secara berkala sehingga kita lebih mahir mengucapkan dan menggunakannya.
Visual adalah orang yang dalam perilakunya lebih menonjolkan aspek pandangan matanya. Orang jenis jni akan tertarik pada sesuatu yang sifatnya enak ditonton atau dilihat. Bagi orang yang termasuk dalam kategori ini, metode pembelajaran yang tepat adalah visual learing, yaitu belajar melalui input visual, seperti gambar dan tulisan. Banyak cara bisa diterapkan menurut gaya belajar ini, misalnya mambaca artikel-artikel yang menarik dalam bahasa Asing, atau membaca tulisan-tulisan yang dianggap penting di koran, internet, atau majalah. Bisa juga menulis contoh surat, proposal, dan brosur. Untuk memahaminya, kita bisa menceritakannya kembali dengan kata-kata yang kita susun sendiri, baik dalam bentuk tulisan ataupun ucapan. Bisa juga kita menggambarkannya dalam bentuk visual flow chart, table, atau bentuk visual lainnya.
Sedangkan kinestethic adalah orang yang dalam perilakunya lebih mengedepankaan sisi gerak tubuhnya. Orang yang dianggap termasuk dalam kategori ini sebaiknya diajarkan bahasa dengan metode kinesthetic learning, yaitu cara belajar yang lebih cocok dengan menggunakan gerak, misalnya dengan menulis (menggerakkan tangan untuk menulis ), atau mencoba memahami sebuah kata/ungkapan dengan membayangkan gerakan, yang biasa diasosiasikan dengan arti kata-kata tersebut. Biasanya, cara belajar seperti ini memerlukan alat bantu, seperti komputer atau alat peraga lainnya.
Metode Komunikstif
Pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan komunikatif (komunikative Annäherung) dapat memotivasi pembelajar, apabila langkah-langkah yang ditempuh dapat dijadikan wadah bagi para pembelajar untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajari misalnya, berdialog/berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan materi yang tersedia dalam buku teks maupun dari sumber yang lain.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Inggris yang komunikatif perlu adanya perubahan didaktik metodik yang mengarah kepada interaksi sosial serta mengajak pembelajar untuk terlibat dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar seperti di atas lebih mengarah kepada CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
T. Raka Joni (1984 : 17) mengemukan bahwa proses belajar mengajar yang mengarah kepada CBSA memiliki indikator sebagai berikut:
Pertama, sejauhmana siswa berani memprakarsai untuk mengambil inisiatif tanpa secara eksplisit diminta oleh guru, misalnya dalam menentukan langkah-langkah belajar, mencari sumber bacaan dan lain-lain.
Kedua, sejauhmana siswa melibatkan diri secara mental dalam kegiatan belajar yang sedang berlangsung.
Ketiga, sejauhmana guru dapat merubah kedudukannya dari seorang yang memimpin dan mengatur segalanya menjadi seorang pendamping (fasilitator) yang siap membantu siswa , sejauh itu dibutuhkan.
Keempat, sejauhmana siswa dapat belajar langsung lewat pengalamannya dalam proses belajar mengajar.
Kelima, sejauhmana bentuk dan alat kegiatan belajar mngajar bervariasi.
Keenam, sejauhmana tingkat kualias interaksi antara siswa, baik intelektual maupun emosional.
Keenam indikator diatas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menciptakan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa Inggris. Sehingga tercipta proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien sesuai dengan harapan pengajar dan pembelajar.
Metode 9 Prinsip Pembelajaran
Yaitu sembilan prinsip dalam pembelajaran yang dirancang agar pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkan. Kesembilan prinsip tersebut adalah:
Pertama, guru berperan sebagai sutradara. Dalam hal ini sebaiknya guru berperan sebagai sutradara dan penulis skenario, dalam arti guru merencanakan adegan-adegan dan menentukan urutannya sementara para siswa bertindak sebagai pemerannya, sehingga pembelajar lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi antar mereka. Skenario adalah rencana kegiatan belajar – mengajar (Unterrichtsvorbereitung) yang di bagi-bagi atas fase-fase (Unterrichtsfasen).
Kedua, pergantian fase perlu sekali dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan mengingat pada umumnya kemampuan manusia untuk berkonsentrasi penuh atas suatu fenomena hanyalah kurang lebih dua puluh menit. Tentunya tidak mudah untuk mengalihkan kebiasaan mengajar Lehrerzentriert (berpusat pada guru) menjadi Lehnerzentriet (berpusat pada siswa).
Metode ini menuntut beberapa hal dari siswa, misalnya spontanitas, aktivitas, keberanian menanggung resiko serta tanggung jawab. Meskipun begitu hendaknya para pengajar tidak berputus asa untuk dengan sabar mencoba membiasakan pembelajar berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Para pembelajar perlu diajak untuk menemukan sendiri jawaban/keterangan yang mereka butuhkan (inductive methode). Hal ini akan menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi mereka, sehingga semakin termotivasi.
Untuk menunjang pergantian fase, para pengajar dapat menerapkan berbagai bentuk latihan (Ubungformen) termasuk juga cara mengerjakannya (Arbeitsformen) antara Einzelarbeit, Patnerarbeit, Gruppenarbeit, Plenumsarbeit dan Frontalunterricht. (Erna, 1992 :23)
Ketiga, Guru menerangkan hanya hal-hal yang penting untuk diterangkan. Biasanya pembelajar akan berbicra atau belajar untuk berbicara kalau pengajar sedang tidak berbicara. Jadi guru perlu berusaha menahan diri, menerangkan seperlunya saja dan memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berperan aktif. Hanya hal-hal yang mutlak perlu saja yang harus diterangkan. Soal yang tersusun baik dan jelas tujuannya akan mudah dipahami hanya jika siswa bertanya dan minta penjelasan atas soal tearsebut, barulah guru menerangkannya. Memberi waktu kepada pembelajar untuk berfikir, akan dapat lebih berarti daripada aktivitas bicara tanpa henti, karena di sinipun terdapat aktivitas yakni di kepala para pembelajar.
Keempat, guru seharusnya mentolerir kesalahan. Mentolerir kesalahan bukan berarti pengajar mendiamkan saja kesalahan yang dibuat oleh pembelajar, melainkan membicarakan dan mengoreksinya sesuai dengan tujuan latihan. Koreksi kesalahan hendaknya sesuai dengan tujuan latihan terkait. (Ekadewi 1993:24) Misalnya: pada saat siswa memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait, sebaiknya guru tidak memotong untuk mengoreksi, karena hal ini akan mengacaukan konsentrasi siswa atas apa yang akan disampaikannya, sebaiknya kesalahan tidak dikomentari. Kesalahan adalah normal, tak seorangpun berniat untuk membuatnya. Suatu jawaban walaupun salah adalah hasil suatu usaha. Di samping itu kesalahan juga mempunyai arti diagnosis bagii guru, karena dengan menganalisa suatu kesalahan guru dapat menemukan letak kelemahan dalam penguasaan materi. Pujian, bantuan dan penghargaan atas usaha siswa biasanya mempertebal rasa percaya diri siswa dan meningkatkan saling percaya antara siswa dan guru. Sebaliknya kritik dari pihak guru yang berlebihan kadang – kadang lebih memungkinkan mendatangkan rasa kuatir dan takut untuk membuat kesalahan ketika pembelajar akan mengemukakan pendapatnya, sehingga kreativitas mereka terganggu. Sebaiknya kritik semacam ini dihindari oleh para pengajar.
Kelima, pengajar dan pembelajar sebaiknya berusaha menggunakan bahasa yang pelajari sebagai bahasa pengantar. Penggunaan yang diajarkan bertujuan agar siswa dapat merasakan bahwa keterbatasan kosa kata bukanlah hambatan untuk bekomunikasi, di samping itu agar siswa berlatih untuk berfikir dan berbicara dengan bahasa yang mereka pelajari, hal ini akan mempersiapkan mereka untuk dapat bereaksi wajar dalam situasi komunikasi yang riil.
Keenam, motivasi adalah salah satu faktor penunjang dalam belajar. Motivasi bahkan merupakan penentu untuk mencapai keberhasilan belajar. Oleh karena itu siswa perlu dimotivasi, baik terhadap mata pelajaran maupun terhadap materinya. J.S. Bruner seorang ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi belajar mengemukakan motivasi sebagai salah satu dari empat tema pendidikan di samping stuktur pengetahuan kesiapan (readiness) dan nilai intuisi dalam proses pendidikan.
Ketujuh, guru sebaiknya tidak meremehkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang sudah dikuasi sebelumnya (vorkenntnisse). Seorang siswa akan senang untuk aktif berbicara jika ia merasa dapat menceritakan hal-hal yang sudah diketahuinya dalam percakapan di dalam kelas sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Bahkan pada situasi interaksi yang tidak terlalu formal terkadang seorang siswa lebih banyak aktif sehingga terjadilah komunikasi dalam arti yang sebenarnya antara siswa dengan siswa atau juga antara siswa dengan guru.
Untuk mulai dengan suatu tema baru, guru seharusnya tahu sampai sejauh mana siswa mempunyai pengetahuan di bidang itu. Pengetahuan awal siswa diakomodasikan dan diaktifkan kembali, karena akan sia-sia usaha guru menerangkan suatu tema baru, jika siswa tidak mempunyai pengetahuan dasar untuk menguasainya, sebaliknya siswa akan cepat merasa bosan jika tidak mendapat tambahan pengetahuan.
Kedelapan, Tujuan pembahasan suatu materi perlu diketahui oleh siswa. Untuk menigkatkan semangat belajar ada baiknya jika siswa mengetahui arti dan tujuan pembahasan suatu materi. Jika siswa mengetahui perlunya materi tersebut, tentunya rasa ingin tahu akan lebih besar. Karena adanya rasa ingin tahu itulah yang akan meninbulkan daya tarik yang kuat. Demikianlah siklus yang dikenal dalam psikologi belajar: daya tarik, motivasi, keberhasilan daya tarik.
Kesembilan, Sesekali guru perlu juga minta umpan balik (Rueck-meldungen) dari para siswa. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi atas pengajarannya yang sudah diberikan. Namun jangan sampai siswa merasa bahwa feedback itu tidak diperhatikan. Hendaknya kritik-kritik yang relevan dapat dijadikan acuan dalam mengadakan perubahan ke arah perbaikan. Sehingga pada akhirnya semakin timbul rasa saling percaya, saling membutuhkan, saling membantu yang tentunya akan menambah kesenangan belajar dan mengajar. Prasarat untuk mencapai keberhasilan belajar mengajar adalah keterbukaan antara pengajar sebagai sutradara dan pembelajar sebagai aktor.
Kesimpulan
Pada akhirnya keberhasilan pengajaran dan pengembangan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di pesantren ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari merubah persepsi, metode, ketersediaan sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Akan tetapi factor yang paling menentukan sebenarnya adalah kemauan dari kalangan pesantren sendiri untuk terbuka menerima dan menyadari arti penting bahasa Inggris bagi pengembangan keilmuan.
Wallahu a’lam bis shawab.
Kajen, 15 April 2009
Di dalam pesantren kami, Pesantren Darunnajah Cipining, santri dituntut untuk menjunjung tinggi kedua bahasa asing tersebut. Kemampuan berbahasa asing sangat diperlukan saat keluar nanti dan ini merupakan modal utama yang kami miliki untuk mencapai kesuksesan yang lebih mudah. Hal ini telah dicontohkan oleh para alumni yang telah dan sedang belajar di luar negeri, baik di Mesir, Arab Saudi, Malaysia, Australia, dll.
Pesantren kami memiliki pepatah yang berbunyi ‘Allughotu taajul ma’had’ yang artinya bahwa bahasa merupakan mahkota pesantren. Maka, segala lini yang ada, dari mudir pesantren hingga para pengurus bahasa di organisasi santri melakukan usaha meningkatkan mutu kedua bahasa asing ini kepada seluruh santiwan maupun santriwati. Beberapa acara yang dimaksud dan telah dilakukan adalah kursus-kursus bahasa di labolatorium bahasa, muhadatsah (conversation), pidato tiga bahasa (Arab, Indonesia, Inggris), menghadirkan native speaker, hingga penempelan berbagai atribut bahasa di beberapa posisi.
Alhamdulillah di pesantren kami juga, terdapat organisasi santri, salah satunya adalah OSDC (Organisasi Santri Darunnajah Cipining). Dalam organisasi tersebut, terdapat satu bagian yang bertanggung jawab soal bahasa asing ini. Merekalah yang menjadi penggerak roda utama berjalannya bahasa di kalangan santri.
Pesantren telah merasakan buah manis dari pengajaran kedua bahasa asing ini.Pengajaran bahasa, tidak cukup mentransfer pengetahuan kosakata dari kamus ke dalam ingatan, namun lebih penting dari itu, adalah membangun milieu berbahasa. Menurut para praktisi bahasa, language is not knowledge but skills yang berarti bahasa bukanlah ilmu pengetahuan semata sehingga hanya perlu dipelajari. Namun bahasa adalah kemampuan berkomunikasi, maka kemampuan inilah yang perlu dibangun dengan latihan dan latihan (praktik).
Semoga dengan usaha yang kami lakukan dapat merubah pesantren ini agar lebih maju terutama dalam segi pengembangan bahasa asing (Arab dan Inggris). Amin (Warna/Putri Khoirunnisa—bagian bahasa OSDC putri 2011-2012)
Oleh: A. Dimyati
Makalah dipresentasikan pada acara Stadium General & Classroom Language; “Urgensi bahasa Inggris dan Metodologi pengajarannya di Sekolah Islam dan Pesantren”, Ahad, 19 April 2009 di Aula Pesantren Maslakul Huda, Kajen Margoyoso Pati jawa Tengah.
Pendahuluan
Secara terminologis bahasa didefinisikan sebagai suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Dari definisi di atas dapat ditangkap sebuah pemahaman bahwa bahasa memegang peranan sangat vital dalam kehidupan sosial manusia. Para ahli memetakan fungsi bahasa dalam kehidupan bermasyarakat menjadi beberapa point, yaitu:
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia (bersosialisasi).
3. Alat untuk mengidentifikasi (aktualisasi) diri.
4. Alat rekayasa sosial
Sekalipun hampir semua mengetahui arti penting penguasaan bahasa asing, akan tetapi kesadaran untuk mempelajarinya tidak selalu berjalan secara linear. Kondisi serupa ditemukan pada lembaga pesantren, terutama yang diidentifikasi sebagai pesantren tradisional. Ada beberapa sebab mengapa bahasa asing (selain bahasa Arab) kurang mendapat perhatian di kalangan komunitas pesantren. Pertama, terdapat kendala psikologis berupa ketakutan untuk mempelajarinya. Selama ini ketika orang berbicara tentang bahasa Inggris misalnya, yang muncul dalam anggapan kemudian adalah bahwa bahasa tersebut sangat sulit untuk dipelajari. Kedua, terdapat kendala budaya dalam arti bahwa mempelajari bahasa asing di pesantren dianggap bukan sebuah kelaziman. Ketiga, minimnya akses terhadap pemahaman tentang bahasa asing itu sendiri. Keempat, kurangnya sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkan bahasa asing. Keempat, sebuah faktor yang sangat mendasar adalah adanya bias-bias ideologis dimana bahasa dipahami sebagai bagian dari agama tertentu. Misalnya bahasa Arab dianggap sebagai bahasa Islam, bahasa Inggris sebagai bahasa orang Kristen, bahasa Cina sebagai representasi bahasa agama Konghucu dan sebagainya.
Bahasa Asing dan Pesantren
Selama ini di masyarakat terdapat pandangan yang ambigu terhadap pesantren. Satu sisi pesantren identik dengan ”ketradisionalan” dalam arti yang negatif (tertinggal, kolot dan sebagainya), namun sebagian kalangan yang lain memandang bahwa pesantren adalah sebuah entitas tersendiri dengan ciri khasnya yang tidak dimiliki institusi lain, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang dijalankan. Kontradiksi seperti itulah yang pada gilirannya justru menjadi daya magnit pesantren yang dapat memikat berbagai kalangan untuk menyelaminya lebih jauh dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.
Terkait dengan bahasa asing, sejatinya sistem pendidikan pesantren telah memiliki akar yang cukup kuat. Penguasaan bahasa asing (khususnya bahasa Arab) menjadi salah satu ciri khas bahkan tolok ukur bagi tingkat keberhasilan pembelajaran yang dijalankan. Hal ini dengan mudah dapat diketahui dari literatur-literatur yang diajarkan dimana literatur berbahasa Arab sangat dominan. Selain itu ilmu-ilmu kebahasaan (nahwu, sharaf, balaghah) juga diajarkan secara sistematis pada semua level. Sayangnya bahwa pemahaman tentang bahasa asing sejauh ini hanya dibatasi oleh ”bahasa Arab”. Sebagaimana disebutkan di atas, hal itu tidak lepas dari pandangan umum di kalangan pesantren yang menganggap bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dapat diterima karena merupakan bahasa ”agama”.
Lebih jauh, anggapan demikian muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang sudah mengakar dan menyejarah di pesantren sebagai bagian dari dakwah islamiyah. Menurut Muhammad Yunus, sejak semula keberadaan pesantren memang mengemban misi utama dalam penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi.
Sistem Pendidikan Islam di Pesantren
(Periode Sultan Agung)
Pesantren Takhassus: dengan spesifikasi pengetahuan keislaman dan tarekat. Mampelajari pelajaran khusus secara mendalam serta belajar tarekat tertentu khususnya Qadariyah, Naqsyabandiyah dan Syatiriyah.
(Tingkat Tertinggi)
Pesantren Besar dan Umum: mempelajari fiqh, tafsir, hadis, astronomi (falak), tata bahasa Arab dan tasawuf.
(Tingkat Tinggi)
Pesantren Daerah dengan Kitab-kitab Elementer: mempelajari kitab-kitab fiqh dengan penekanan pada mazhab syarfi’i seperti Fathul Qarib, dasar-dasar akhlaq seperti Bidayatul Hidayah.
(Tingkat Menengah)
Kelas-kelas al-Qur’an bagi anak-anak usia 7 tahun ke atas. Tujuannya membekali para santri dengan kemampuan membaca al-Qur’an
(Tingkat Dasar)
Sumber: Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 226-227
Perlakuan istimewa terhadap bahasa Arab pada gilirannya membuat sekat-sekat bagi kemungkinan memasukkan bahasa asing lain untuk dipelajari di pesantren. Jika demikian halnya, maka hal yang paling mendasar untuk dilakukan sebelum mengajarkan bahasa asing, khsususnya bahasa Inggris di pesantren adalah merubah cara pandang terhadapnya dan menyadarkan pentingnya penguasaan bahasa Inggris di pesantren, terutama di era global ini.
Bagaimana memulai?
Setelah merubah cara pandang dan penyadaran akan arti penting bahasa Inggris bagi pesantre, masih ada beberapa langkah yang mesti dilakukan, yaitu mapping, analyzing, planning, doing dan evaluating.
Mapping atau pemetaan persoalan adalah langkah-langkah identifikasi awal apa saja persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pesantren selama ini khususnya yang terkait dengan pengajaran bahasa Inggris. Juga memetakan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi jika ingin mengembangkan bahasa Inggris dan aspek-aspek terkait.
Setelah dilakukan mapping, langkah penting selanjutnya adalah melakukan analisis (analyzing), sejauhmana kemungkinan, peluang, tantangan yang dapat diperkirakan. Salah satu model analisis yang lazim digunakan untuk mengetahui peluang dan tantangan tersebut adalah model SWOT Analysis yang dikembangkan oleh Albert Humphrey .
Dalam gambar di atas ada empat unsur yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis, yaitu unsur strengths (kelebihan, kekuatan), weaknesses (kelemahan-kelemahan), opportunities (peluang-peluang) dan threats (tantangan-tangangan).
Dalam konteks analisis terhadap kemungkinan pengajaran bahasa Inggris di pesantren, maka model analisis tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
Strengths:
– Terbiasa dengan kajian bahasa asing, khususnya bahasa Arab
– Sistem pendidikan yang menunjang (model boarding)
– Kepemiminan
– Networking dengan luar negeri
Weaknesses:
– Pandangan minor terhadap bahasa inggris
– Bias-bias ideology
– Minimnya fasilitas
– Minimnya SDM
Opportunities:
– Pesantren telah diakui eksistensinya sebagai bagian dari sisdiknas
– Dibukanya lembaga-lembaga formal; m’had ali, takhassus, lembaga bahasa asing
– Beasiswa Studi lanjutan ke berbagai Negara
– Program-program pertukaran mahasiswa/ pesantren
Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa peluang pengajaran dan pengembangan bahasa Inggris di pesantren sangat terbuka. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah adanya itikad baik (good will) dari para penentu kebijakan pesantren untuk memprakarsai lahirnya lembaga-lembaga pendidkan bahasa asing (Inggris) yang dikelola oleh pesantren masing-masing.
Tentang Metode Pembelajaran
Sebagaiamana dikemukakan sebelumnya, salah satu kendala bagi upaya pengembangan bahasa Inggris di pesantren adalah adanya anggapan bahwa bahasa Inggris itu sulit. Anggapan tersebut tidak dapat dikesmpingkan begitu saja, sebab kenyataannya justru berangkat dari sekedar anggapan seperti itulah yang justru menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak pernah berkembang dengan baik di lembaga-lembaga pendidikan (tidak hanya pesantren).
Salah satu cara yang disarankan oleh para praktisi pengajar bahasa Inggris untuk menghilangkan anggapan seperti itu adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan bahasa Inggris dengan metode yang tepat. Sejauh ini sudah banyak metode yang dikenal, seperti metode pengajaran bahasa untuk bahasa, metode psikolearning, metode interaksi sosial dan sebagainya. (Di sini hanya akan diuraikan sedikit beberapa metode tersebut). Ppemiihan metode yang tepat, selain dapat menghilangkan kesan sulit terhadap bahasa Inggris juga dapat membantu mempercepat dalam penguasaan.
Psikolearning
Secara sederhana barangkali psikolearning dapat dipahami sebagai metode peembelajaran yang menggunakan pendekatan dengan menyesuaikan kondisi psikologis peserta didik. Dalam perspektif psikologi kondisi seseorang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: auditory, visual dan kinesthetic.
Auditory adalah kondisi seseorang dimana dalam perilakunya lebih banyak menggunakan unsur pendengarannya. Orang seperti ini biasanya lebih nyaman jika mendengarkan music yang bagus, lagu yang dapat menggugah semangat dan sebagainya. Lebih mudahnya orang yang tertarik pada keindahan suara. Metode pembelajaran yang tepat untuk orang dalam kategori ini adalah auditory learning, yaitu cara mudah belajar dengan medengarkan. Cara ini bisa ditunjang dengan banyak mendengarkan lagu-lagu favorit, berita, pidato, menyimak lebih banyak percakapan dalam bahasa asing. Dengan unkapan dan ucapan yang digunakan, perhatikan konteks ataupun situasi di mana kata-kata tersebut digunakan. Lalu, lakukan hal ini berulang-ulang, maka kita akan bertemu dengan ungkapan serupa, yang dapat kita latih secara berkala sehingga kita lebih mahir mengucapkan dan menggunakannya.
Visual adalah orang yang dalam perilakunya lebih menonjolkan aspek pandangan matanya. Orang jenis jni akan tertarik pada sesuatu yang sifatnya enak ditonton atau dilihat. Bagi orang yang termasuk dalam kategori ini, metode pembelajaran yang tepat adalah visual learing, yaitu belajar melalui input visual, seperti gambar dan tulisan. Banyak cara bisa diterapkan menurut gaya belajar ini, misalnya mambaca artikel-artikel yang menarik dalam bahasa Asing, atau membaca tulisan-tulisan yang dianggap penting di koran, internet, atau majalah. Bisa juga menulis contoh surat, proposal, dan brosur. Untuk memahaminya, kita bisa menceritakannya kembali dengan kata-kata yang kita susun sendiri, baik dalam bentuk tulisan ataupun ucapan. Bisa juga kita menggambarkannya dalam bentuk visual flow chart, table, atau bentuk visual lainnya.
Sedangkan kinestethic adalah orang yang dalam perilakunya lebih mengedepankaan sisi gerak tubuhnya. Orang yang dianggap termasuk dalam kategori ini sebaiknya diajarkan bahasa dengan metode kinesthetic learning, yaitu cara belajar yang lebih cocok dengan menggunakan gerak, misalnya dengan menulis (menggerakkan tangan untuk menulis ), atau mencoba memahami sebuah kata/ungkapan dengan membayangkan gerakan, yang biasa diasosiasikan dengan arti kata-kata tersebut. Biasanya, cara belajar seperti ini memerlukan alat bantu, seperti komputer atau alat peraga lainnya.
Metode Komunikstif
Pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan komunikatif (komunikative Annäherung) dapat memotivasi pembelajar, apabila langkah-langkah yang ditempuh dapat dijadikan wadah bagi para pembelajar untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajari misalnya, berdialog/berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan materi yang tersedia dalam buku teks maupun dari sumber yang lain.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Inggris yang komunikatif perlu adanya perubahan didaktik metodik yang mengarah kepada interaksi sosial serta mengajak pembelajar untuk terlibat dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar seperti di atas lebih mengarah kepada CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
T. Raka Joni (1984 : 17) mengemukan bahwa proses belajar mengajar yang mengarah kepada CBSA memiliki indikator sebagai berikut:
Pertama, sejauhmana siswa berani memprakarsai untuk mengambil inisiatif tanpa secara eksplisit diminta oleh guru, misalnya dalam menentukan langkah-langkah belajar, mencari sumber bacaan dan lain-lain.
Kedua, sejauhmana siswa melibatkan diri secara mental dalam kegiatan belajar yang sedang berlangsung.
Ketiga, sejauhmana guru dapat merubah kedudukannya dari seorang yang memimpin dan mengatur segalanya menjadi seorang pendamping (fasilitator) yang siap membantu siswa , sejauh itu dibutuhkan.
Keempat, sejauhmana siswa dapat belajar langsung lewat pengalamannya dalam proses belajar mengajar.
Kelima, sejauhmana bentuk dan alat kegiatan belajar mngajar bervariasi.
Keenam, sejauhmana tingkat kualias interaksi antara siswa, baik intelektual maupun emosional.
Keenam indikator diatas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menciptakan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa Inggris. Sehingga tercipta proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien sesuai dengan harapan pengajar dan pembelajar.
Metode 9 Prinsip Pembelajaran
Yaitu sembilan prinsip dalam pembelajaran yang dirancang agar pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkan. Kesembilan prinsip tersebut adalah:
Pertama, guru berperan sebagai sutradara. Dalam hal ini sebaiknya guru berperan sebagai sutradara dan penulis skenario, dalam arti guru merencanakan adegan-adegan dan menentukan urutannya sementara para siswa bertindak sebagai pemerannya, sehingga pembelajar lebih banyak beraktivitas dan berinteraksi antar mereka. Skenario adalah rencana kegiatan belajar – mengajar (Unterrichtsvorbereitung) yang di bagi-bagi atas fase-fase (Unterrichtsfasen).
Kedua, pergantian fase perlu sekali dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan mengingat pada umumnya kemampuan manusia untuk berkonsentrasi penuh atas suatu fenomena hanyalah kurang lebih dua puluh menit. Tentunya tidak mudah untuk mengalihkan kebiasaan mengajar Lehrerzentriert (berpusat pada guru) menjadi Lehnerzentriet (berpusat pada siswa).
Metode ini menuntut beberapa hal dari siswa, misalnya spontanitas, aktivitas, keberanian menanggung resiko serta tanggung jawab. Meskipun begitu hendaknya para pengajar tidak berputus asa untuk dengan sabar mencoba membiasakan pembelajar berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Para pembelajar perlu diajak untuk menemukan sendiri jawaban/keterangan yang mereka butuhkan (inductive methode). Hal ini akan menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi mereka, sehingga semakin termotivasi.
Untuk menunjang pergantian fase, para pengajar dapat menerapkan berbagai bentuk latihan (Ubungformen) termasuk juga cara mengerjakannya (Arbeitsformen) antara Einzelarbeit, Patnerarbeit, Gruppenarbeit, Plenumsarbeit dan Frontalunterricht. (Erna, 1992 :23)
Ketiga, Guru menerangkan hanya hal-hal yang penting untuk diterangkan. Biasanya pembelajar akan berbicra atau belajar untuk berbicara kalau pengajar sedang tidak berbicara. Jadi guru perlu berusaha menahan diri, menerangkan seperlunya saja dan memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berperan aktif. Hanya hal-hal yang mutlak perlu saja yang harus diterangkan. Soal yang tersusun baik dan jelas tujuannya akan mudah dipahami hanya jika siswa bertanya dan minta penjelasan atas soal tearsebut, barulah guru menerangkannya. Memberi waktu kepada pembelajar untuk berfikir, akan dapat lebih berarti daripada aktivitas bicara tanpa henti, karena di sinipun terdapat aktivitas yakni di kepala para pembelajar.
Keempat, guru seharusnya mentolerir kesalahan. Mentolerir kesalahan bukan berarti pengajar mendiamkan saja kesalahan yang dibuat oleh pembelajar, melainkan membicarakan dan mengoreksinya sesuai dengan tujuan latihan. Koreksi kesalahan hendaknya sesuai dengan tujuan latihan terkait. (Ekadewi 1993:24) Misalnya: pada saat siswa memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait, sebaiknya guru tidak memotong untuk mengoreksi, karena hal ini akan mengacaukan konsentrasi siswa atas apa yang akan disampaikannya, sebaiknya kesalahan tidak dikomentari. Kesalahan adalah normal, tak seorangpun berniat untuk membuatnya. Suatu jawaban walaupun salah adalah hasil suatu usaha. Di samping itu kesalahan juga mempunyai arti diagnosis bagii guru, karena dengan menganalisa suatu kesalahan guru dapat menemukan letak kelemahan dalam penguasaan materi. Pujian, bantuan dan penghargaan atas usaha siswa biasanya mempertebal rasa percaya diri siswa dan meningkatkan saling percaya antara siswa dan guru. Sebaliknya kritik dari pihak guru yang berlebihan kadang – kadang lebih memungkinkan mendatangkan rasa kuatir dan takut untuk membuat kesalahan ketika pembelajar akan mengemukakan pendapatnya, sehingga kreativitas mereka terganggu. Sebaiknya kritik semacam ini dihindari oleh para pengajar.
Kelima, pengajar dan pembelajar sebaiknya berusaha menggunakan bahasa yang pelajari sebagai bahasa pengantar. Penggunaan yang diajarkan bertujuan agar siswa dapat merasakan bahwa keterbatasan kosa kata bukanlah hambatan untuk bekomunikasi, di samping itu agar siswa berlatih untuk berfikir dan berbicara dengan bahasa yang mereka pelajari, hal ini akan mempersiapkan mereka untuk dapat bereaksi wajar dalam situasi komunikasi yang riil.
Keenam, motivasi adalah salah satu faktor penunjang dalam belajar. Motivasi bahkan merupakan penentu untuk mencapai keberhasilan belajar. Oleh karena itu siswa perlu dimotivasi, baik terhadap mata pelajaran maupun terhadap materinya. J.S. Bruner seorang ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi belajar mengemukakan motivasi sebagai salah satu dari empat tema pendidikan di samping stuktur pengetahuan kesiapan (readiness) dan nilai intuisi dalam proses pendidikan.
Ketujuh, guru sebaiknya tidak meremehkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang sudah dikuasi sebelumnya (vorkenntnisse). Seorang siswa akan senang untuk aktif berbicara jika ia merasa dapat menceritakan hal-hal yang sudah diketahuinya dalam percakapan di dalam kelas sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Bahkan pada situasi interaksi yang tidak terlalu formal terkadang seorang siswa lebih banyak aktif sehingga terjadilah komunikasi dalam arti yang sebenarnya antara siswa dengan siswa atau juga antara siswa dengan guru.
Untuk mulai dengan suatu tema baru, guru seharusnya tahu sampai sejauh mana siswa mempunyai pengetahuan di bidang itu. Pengetahuan awal siswa diakomodasikan dan diaktifkan kembali, karena akan sia-sia usaha guru menerangkan suatu tema baru, jika siswa tidak mempunyai pengetahuan dasar untuk menguasainya, sebaliknya siswa akan cepat merasa bosan jika tidak mendapat tambahan pengetahuan.
Kedelapan, Tujuan pembahasan suatu materi perlu diketahui oleh siswa. Untuk menigkatkan semangat belajar ada baiknya jika siswa mengetahui arti dan tujuan pembahasan suatu materi. Jika siswa mengetahui perlunya materi tersebut, tentunya rasa ingin tahu akan lebih besar. Karena adanya rasa ingin tahu itulah yang akan meninbulkan daya tarik yang kuat. Demikianlah siklus yang dikenal dalam psikologi belajar: daya tarik, motivasi, keberhasilan daya tarik.
Kesembilan, Sesekali guru perlu juga minta umpan balik (Rueck-meldungen) dari para siswa. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi atas pengajarannya yang sudah diberikan. Namun jangan sampai siswa merasa bahwa feedback itu tidak diperhatikan. Hendaknya kritik-kritik yang relevan dapat dijadikan acuan dalam mengadakan perubahan ke arah perbaikan. Sehingga pada akhirnya semakin timbul rasa saling percaya, saling membutuhkan, saling membantu yang tentunya akan menambah kesenangan belajar dan mengajar. Prasarat untuk mencapai keberhasilan belajar mengajar adalah keterbukaan antara pengajar sebagai sutradara dan pembelajar sebagai aktor.
Kesimpulan
Pada akhirnya keberhasilan pengajaran dan pengembangan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di pesantren ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari merubah persepsi, metode, ketersediaan sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Akan tetapi factor yang paling menentukan sebenarnya adalah kemauan dari kalangan pesantren sendiri untuk terbuka menerima dan menyadari arti penting bahasa Inggris bagi pengembangan keilmuan.
Wallahu a’lam bis shawab.
Kajen, 15 April 2009
Geliat Pesantren Dalam Mempelajari Bahasa Inggris
Revolusi
pesantren dari gaya klasik yang selalu mengandalkan kitab kuning dan
gundul kini mulai menemukan titik temunya. Ini terbukti dengan banyaknya
pesantren-pesantren yang mulai banyak menerapkan bilingual system dalam
kumunikasi sehari-harinya, dalam artian tidak hanya bahasa Arab yang
menjadi patokan pesantren sekarang, tapi juga bahasa Inggris.Kesadaran penguasaan bahasa Inggris
di pesantren kini mulai tumbuh, kesadaran untuk mempelajarinya mulai
berjalan secara linear, lebih-lebih pesantren yang mempunyai basis
modern. Tidak hanya itu, bahkan kondisi serupa juga ditemukan pada
lembaga pesantren yang kental dengan ke-salaf-annya, yang diidentifikasi
sebagai pesantren tradisional.
Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Indonesia bahwa pesantren selalu identik dengan ”ketradisionalan” dalam arti yang negatif (tertinggal, kolot dan sebagainya). Selama ini di masyarakat terdapat pandangan yang ambigu terhadap pesantren. Lebih-lebih oknum-oknum tertentu yang selalu berusaha menjatuhkan nama baik pesantren.
Namun, sebagian kalangan yang lain memandang bahwa pesantren adalah sebuah entitas tersendiri dengan ciri khasnya yang tidak dimiliki institusi lain, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang dijalankan. Kontradiksi seperti itulah yang pada gilirannya justru menjadi daya magnit pesantren yang dapat memikat berbagai kalangan untuk menyelaminya lebih jauh dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.
Kembali lagi ke intensitas pesantren dalam mempelajari bahasa Inggris, sejatinya sistem pendidikan pesantren telah memiliki akar yang cukup kuat dalam pembelajaran bahasa Inggris. Mulai dari pihak guru yang disucikan dan selalu dituruti/diteladani oleh santrinya, hingga intruksi guru (dalam istilah pesantren adalah "Ustadz") yang selalu dianggapnya benar.
Oleh karena itu, penguasaan bahasa Inggris kini menjadi salah satu ciri khas bahkan tolok ukur bagi tingkat keberhasilan pembelajaran yang dijalankan pesantren sekarang. Maka, sudah menjadi lumrah bagi kebanyakan pesantren ketika mendelegasikan santrinya ke berbagai even berbau bahasa Inggris, seperti lomba debat bahasa Inggris, story telling, lomba pidato bahasa Inggris, dan semacamnya.
Lebih jauh, anggapan akan pentingnya bahasa Inggris di kalangan pesantren menjadi sebuah keniscayaan yang kemudian muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang sudah mengakar dan menyejarah di pesantren sebagai bagian dari dakwah islamiyah. Yang mana sejak semula keberadaan pesantren memang mengemban misi utama dalam penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi.
Pesantren mempelajari bahasa Inggris, tentu hal ini demi memperkaya khazana keilmuan di pesantren yang tak terbatas pada pemebelajaran literatur bahasa Arab saja, tapi juga memperkaya dinamika keilmuan pesantren (maupun santrinya) dengan banyak mempelajari aneka keilmuan yang bersumber dari bahasa Inggris.
Catatan Akhir
Dalam mempelajari bahasa Inggris, sedikitnya diperlukan beberapa faktor untuk menunjang penguasaan bahasa Inggris dengan baik. Faktor pertama, lingkungan yang mendukung, tempat yang asri akan mempermudah penerapan dalam mempelajari bahasa Inggris, seseorang dapat dengan mudah menangkap apa yang di pelajarinya jika tempatnya mendukung dan nyaman.
Faktor Kedua, interaksi sosial, kita bisa berbicara dengan lancar karena adanya interaksi satu sama lain, yang lebih memungkinkan penekanan pada satu komunitas bahasa asing begitu pula dalam mempelajari bahasa Inggris.
Dari kesemua faktor yang disebutkan diatas, pesantren lebih punya peran sebagai tempat pembelajaran bahasa Inggris, daripada lembaga kursus Inggris dan institusi-institusi lain yang hanya menerapkan pembelajaran secara instan tanpa pembekalan yang mempuni.
Dengan seperti ini pesantren akan semakin eksis dengan eksistensi dirinya sebagai wadah dan penyanggah kemajuan bangsa. Karena kebelakangnnya tantangan modern merupakan keniscayaan yang tidak mungkin kita hindarkan perkembangannya, iptek, ekonomi juga ilmu-ilmu sosial lainnya.
Jika pesantren sudah bisa menguasai beberapa jenis bahasa, maka “teluran” pesantren akan banyak mendulang kesuksesan. Contohnya adalah Gus Dur, beliau mampu menduduki kursi kepresidenan dengan membawa bekal dari pesantren seperti agama, iptek dan berbagai macam bahasa.
Dan bukanlah sesuatu yang aneh jika ada sebagian pesantren sekarang yang membiasakan diri dan bergelut dengan bahasa Inggris. Seperti pesantren modern Nurul Jadid, Probolinggo. Pesantren ini seringkali mendatangkan guru bahasa Inggris dari manca negara.
Sekarang demam bahasa Inggris cukup merajalela di berbagai pesantren di seluruh nusantra, banyak sekali pesantren lebih-lebih santrinya yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan tingginya ke negara bagian eropa, lebih-lebih Amerika. Bukan mustahil lagi bila hubungan pesantren, Indonesia pada umumnya dengan negara-negara maju seperti Amerika akan semakin erat. Karena Indonesia sendiri sebenarnya lebih baik dari negara-negara maju di Asia seperti Cina asalkan pemerintah peduli terhadap generasi mudanya, santri.
Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Indonesia bahwa pesantren selalu identik dengan ”ketradisionalan” dalam arti yang negatif (tertinggal, kolot dan sebagainya). Selama ini di masyarakat terdapat pandangan yang ambigu terhadap pesantren. Lebih-lebih oknum-oknum tertentu yang selalu berusaha menjatuhkan nama baik pesantren.
Namun, sebagian kalangan yang lain memandang bahwa pesantren adalah sebuah entitas tersendiri dengan ciri khasnya yang tidak dimiliki institusi lain, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang dijalankan. Kontradiksi seperti itulah yang pada gilirannya justru menjadi daya magnit pesantren yang dapat memikat berbagai kalangan untuk menyelaminya lebih jauh dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.
Kembali lagi ke intensitas pesantren dalam mempelajari bahasa Inggris, sejatinya sistem pendidikan pesantren telah memiliki akar yang cukup kuat dalam pembelajaran bahasa Inggris. Mulai dari pihak guru yang disucikan dan selalu dituruti/diteladani oleh santrinya, hingga intruksi guru (dalam istilah pesantren adalah "Ustadz") yang selalu dianggapnya benar.
Oleh karena itu, penguasaan bahasa Inggris kini menjadi salah satu ciri khas bahkan tolok ukur bagi tingkat keberhasilan pembelajaran yang dijalankan pesantren sekarang. Maka, sudah menjadi lumrah bagi kebanyakan pesantren ketika mendelegasikan santrinya ke berbagai even berbau bahasa Inggris, seperti lomba debat bahasa Inggris, story telling, lomba pidato bahasa Inggris, dan semacamnya.
Lebih jauh, anggapan akan pentingnya bahasa Inggris di kalangan pesantren menjadi sebuah keniscayaan yang kemudian muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang sudah mengakar dan menyejarah di pesantren sebagai bagian dari dakwah islamiyah. Yang mana sejak semula keberadaan pesantren memang mengemban misi utama dalam penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi.
Pesantren mempelajari bahasa Inggris, tentu hal ini demi memperkaya khazana keilmuan di pesantren yang tak terbatas pada pemebelajaran literatur bahasa Arab saja, tapi juga memperkaya dinamika keilmuan pesantren (maupun santrinya) dengan banyak mempelajari aneka keilmuan yang bersumber dari bahasa Inggris.
Catatan Akhir
Dalam mempelajari bahasa Inggris, sedikitnya diperlukan beberapa faktor untuk menunjang penguasaan bahasa Inggris dengan baik. Faktor pertama, lingkungan yang mendukung, tempat yang asri akan mempermudah penerapan dalam mempelajari bahasa Inggris, seseorang dapat dengan mudah menangkap apa yang di pelajarinya jika tempatnya mendukung dan nyaman.
Faktor Kedua, interaksi sosial, kita bisa berbicara dengan lancar karena adanya interaksi satu sama lain, yang lebih memungkinkan penekanan pada satu komunitas bahasa asing begitu pula dalam mempelajari bahasa Inggris.
Dari kesemua faktor yang disebutkan diatas, pesantren lebih punya peran sebagai tempat pembelajaran bahasa Inggris, daripada lembaga kursus Inggris dan institusi-institusi lain yang hanya menerapkan pembelajaran secara instan tanpa pembekalan yang mempuni.
Dengan seperti ini pesantren akan semakin eksis dengan eksistensi dirinya sebagai wadah dan penyanggah kemajuan bangsa. Karena kebelakangnnya tantangan modern merupakan keniscayaan yang tidak mungkin kita hindarkan perkembangannya, iptek, ekonomi juga ilmu-ilmu sosial lainnya.
Jika pesantren sudah bisa menguasai beberapa jenis bahasa, maka “teluran” pesantren akan banyak mendulang kesuksesan. Contohnya adalah Gus Dur, beliau mampu menduduki kursi kepresidenan dengan membawa bekal dari pesantren seperti agama, iptek dan berbagai macam bahasa.
Dan bukanlah sesuatu yang aneh jika ada sebagian pesantren sekarang yang membiasakan diri dan bergelut dengan bahasa Inggris. Seperti pesantren modern Nurul Jadid, Probolinggo. Pesantren ini seringkali mendatangkan guru bahasa Inggris dari manca negara.
Sekarang demam bahasa Inggris cukup merajalela di berbagai pesantren di seluruh nusantra, banyak sekali pesantren lebih-lebih santrinya yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan tingginya ke negara bagian eropa, lebih-lebih Amerika. Bukan mustahil lagi bila hubungan pesantren, Indonesia pada umumnya dengan negara-negara maju seperti Amerika akan semakin erat. Karena Indonesia sendiri sebenarnya lebih baik dari negara-negara maju di Asia seperti Cina asalkan pemerintah peduli terhadap generasi mudanya, santri.
Seperti
yang kita ketahui bahwa pesantren sangat lekat hubungannya dengan
bahasa asing (Arab & Inggris). Penggunaan kedua bahasa asing sebagai
bahasa resmi pergaulan sehari-hari seperti ini merupakan kelebihan
yang patut disyukuri karna tidak semua orang dapat merasakannya.
Di dalam pesantren kami, Pesantren Darunnajah Cipining, santri dituntut untuk menjunjung tinggi kedua bahasa asing tersebut. Kemampuan berbahasa asing sangat diperlukan saat keluar nanti dan ini merupakan modal utama yang kami miliki untuk mencapai kesuksesan yang lebih mudah. Hal ini telah dicontohkan oleh para alumni yang telah dan sedang belajar di luar negeri, baik di Mesir, Arab Saudi, Malaysia, Australia, dll.
Pesantren kami memiliki pepatah yang berbunyi ‘Allughotu taajul ma’had’ yang artinya bahwa bahasa merupakan mahkota pesantren. Maka, segala lini yang ada, dari mudir pesantren hingga para pengurus bahasa di organisasi santri melakukan usaha meningkatkan mutu kedua bahasa asing ini kepada seluruh santiwan maupun santriwati. Beberapa acara yang dimaksud dan telah dilakukan adalah kursus-kursus bahasa di labolatorium bahasa, muhadatsah (conversation), pidato tiga bahasa (Arab, Indonesia, Inggris), menghadirkan native speaker, hingga penempelan berbagai atribut bahasa di beberapa posisi.
Alhamdulillah di pesantren kami juga, terdapat organisasi santri, salah satunya adalah OSDC (Organisasi Santri Darunnajah Cipining). Dalam organisasi tersebut, terdapat satu bagian yang bertanggung jawab soal bahasa asing ini. Merekalah yang menjadi penggerak roda utama berjalannya bahasa di kalangan santri.
Pesantren telah merasakan buah manis dari pengajaran kedua bahasa asing ini.Pengajaran bahasa, tidak cukup mentransfer pengetahuan kosakata dari kamus ke dalam ingatan, namun lebih penting dari itu, adalah membangun milieu berbahasa. Menurut para praktisi bahasa, language is not knowledge but skills yang berarti bahasa bukanlah ilmu pengetahuan semata sehingga hanya perlu dipelajari. Namun bahasa adalah kemampuan berkomunikasi, maka kemampuan inilah yang perlu dibangun dengan latihan dan latihan (praktik).
Semoga dengan usaha yang kami lakukan dapat merubah pesantren ini agar lebih maju terutama dalam segi pengembangan bahasa asing (Arab dan Inggris). Amin (Warna/Putri Khoirunnisa—bagian bahasa OSDC putri 2011-2012)
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment...I am looking forward your next visit..